Sempro berakhir, terbitlah revisian. Jeonghan menghela nafas. Malam ini sudah pukul sepuluh dan ia masih berkutat dengan laptop miliknya. Sebenarnya karena sedari tadi ia tak langsung mengerjakannya. Ia sibuk bermain dengan ponselnya dan juga mendengarkan cerita-cerita adik-adiknya di sekolah.
Jeonghan memang akan selalu menyisihkan sedikit waktunya untuk mendengarkan pengalaman adik-adiknya di sekolah setiap harinya, meskipun Jeonghan akan lebih sering ketiduran dan berakhir digendong Mingyu atau Dokyeom ke tempat tidur. Tapi tak apa, setidaknya mereka bisa bertukar pikiran satu sama lain. Jeonghan juga ingin memperkuat hubungan persaudaraan mereka.
Dari dulu hubungan kekeluargaan Jeonghan dan adik-adiknya sebenarnya tidak seakrab sekarang, tetapi adik-adik Jeonghan selalu menurut kepadanya. Mereka menjadi lebih akrab setelah perceraian orang tua mereka. Jeonghan tidak ingat pasti bagaimana hubungan mereka ketika masih bersama kedua orangtuanya, kenangan itu seperti menghilang dan yang tertinggal hanya kenangan dirinya bersama adik-adiknya. Seolah-olah, kehidupan Jeonghan dimulai saat orang tuanya bercerai.
"Abang nggak ngantuk?"
Jeonghan yang tengah berkutat dengan skripsinya menoleh dan mendapati Dokyeom yang berbaring miring ke arahnya. Kamar mereka adalah ruangan selebar empat kali tiga meter dengan dua kasur lantai yang akan diangkat di pagi hari. Cukup luas dengan satu lemari plastik di ujung dan satu meja belajar kayu yang cukup besar. Tempat Jeonghan dan adik-adiknya menyimpan beberapa keperluannya.
Kepala Jeonghan mengangguk, "Ngantuk sih, tapi harus diselesiin semuanya, Dika."
Kedua mata Dokyeom nampak berkilauan seperti bintang-bintang, memandang sosok abangnya yang duduk di depan meja belajar lipat sembari menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar. Tersirat kesan sendu dan sedih di sana. "Abang kan besok masih harus kerja juga. Nanti abang kecapean."
Jeonghan memejamkan matanya sebentar, "Gapapa, Dika. Biar cepat selesai dan Abang bisa cepat wisuda. Terus bisa cari kerja yang lebih baik, biar kita nggak kekurangan lagi."
Entah mengapa sudut mata Dokyeom terasa panas. "Bang, makasih ya."
Sebuah senyuman terbit di bibir Jeonghan, "Enak aja main makasih. Ini harus dibayar dong." Kedua mata Jeonghan terbuka lalu memandang tepat ke dalam mata Dokyeom, "Kalian harus belajar yang rajin, biar bisa kerja yang bagus. Jadi, kita nggak usah makan bihun di akhir bulan."
Setitik air mata jatuh dari sudut mata Dokyeom dan ia cepat-cepat menyekanya. Pemandangan itu tentu saja tak luput dari perhatian Jeonghan. Di antara adik-adiknya, Dokyeom adalah yang paling sentimen. Dia mudah menangis dan sangat bisa memperlihatkan perasaannya. Apalagi menghadapi cobaan kecil seperti kekurangan dana ini. Sebenarnya termasuk cobaan berat karena jika sudah berhadapan dengan uang, Jeonghan juga sering kali ingin menangis.
Tetapi semakin seringnya ia menghadapi masalah ini, Jeonghan belajar untuk tidak terlalu memikirkannya. Memang benar tetap kepikiran, tetapi Jeonghan memilih seolah menganggapnya tak terlalu berat.
Semuanya pasti akan berlalu. Berlalu-lalang maksudnya.
"Abang..." Dokyeom berkata dengan matanya yang berkaca-kaca, bibir melengkung dan tangannya yang berusaha mengusap matanya, "Aku janji bakal belajar yang rajin, janji nggak bikin abang khawatir. Nanti kalau aku udah ada uang banyak, abang nggak usah kerja, nggak usah makan bihun juga. Abang bisa duduk-duduk aja makan jasuke."
Mata Jeonghan sebenarnya sudah sangat mengantuk, apalagi ia bukanlah tipe orang yang kuat begadang. Sedikit saja tidur terlambat, dapat membuat Jeonghan pusing seharian. Namun, ia berusaha menekan rasa mengantuk itu demi menyelesaikan semua urusannya. Satu per satu, setidaknya ia lulus kuliah dulu. Sehingga ia tak perlu memikirkan UKT dan biaya bimbingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's You! [CheolHan]
FanfictionHidup lagi capek-capeknya, tapi Jeonghan malah harus jadi orang tua dadakan untuk empat adiknya. "Ya dikuat-kuatin ajalah, kalau gak kuat, ya tetap dikuat-kuatin." -Jeonghan yang tiap hari bingung mau nangisin yang mana dulu. •Seungcheol x Jeongh...