14. Perasaan Menggebu

11.8K 892 36
                                        

Dante

Kepala yang berdenyut membuatku berhenti membaca laporan penggerebekan pabrik narkoba minggu lalu. Di atas kertas, itu sebuah penangkapan besar, hasil persiapan berbulan-bulan. Penangkapan ini tentu saja akan membawaku selangkah lebih dekat menuju Big John.

Salah besar.

Entah para cecunguk itu dibayar banyak sehingga tuutp mulut dan membual atau kesetiaan membuat mereka jadi bodoh. Hukuman seumur hidup tidak menggoyahkan mereka. Interogasi demi interogasi tidak membuahksn hasil. Hanya membuatku semakin stuck.

“Gue yakin mereka ada hubungannya sama Big John. Kita dapat pabrik mereka dari hasil pemeriksaan kasus yang sudah-sudah,” geram Imran. Sama sepertiku, dia juga dibuat frustrasi oleh kasus ini.

“Kita butuh cara lain,” timpal Indra.

Aku menekan pangkal hidung, berharap tekanan itu bisa meredam dentuman di kepala. Aku tidak akan bisa hidup tenang selama kasus ini masih menghantui. Sebahai polisi, akan ada kasus lain yang tak kalah menantang tapi untuk saat ini, fokusku ada pada Big John.

Saat membuka mata, aku menatap map merah di antara tumpukan dokumen di mejaku yang berantakan. Aku membukanya, kembali berhadapan dengan wajah yang familiar tapi tidak ada satu pun ingatan yang memberikan jawaban.

Aku kembali membaca laporan tersebut. Firasatku masih menyebut ada yang janggal dengan kasus ini.

“Nama Herman Zainal enggak pernah ada dalam radar. Kenapa tiba-tiba sda surat penangkapan?” tanyaku.

Imran mengusap rahang. “Surat penggeledahan keluar setelah dapat tip.”

“Dari siapa?”

“Anonim.”

Tidak semua sumber rela dinyatakan identitasnya, ada yang berlindung di balik misteri untuk melindungi diri. Siapa pun yang memberi tip soal Herman Zainal, hanya pimpinan tim yang memimpin penggeledehan yang tahu identitasnya. Sayangnya, beliau sudah meninggal tahun lalu sehingga rahasia itu ikut mati bersamanya. Pasti ada yang tahu identitas sumber ini, tapi aku tidak punya banyak waktu untuk mencari tahu, mengingat tim tersebut sudah tercerai berai ke berbagai daerah di Indonesia.

“Lo ada di penggeledahan itu. Apa yang terjadi?”

Imran bersandar di kursi dengan tangan terlipat di belakang kepala. “Sore itu Pak Abdur menyuruh semua tim berangkat ke alamat itu. Ada informasi dari sumber soal pengedar narkoba. Waktu gue sampai, rumah itu enggak kelihatan seperti sarang obat. Tapi penampilan bisa menipu. Buktinya ada obat di sana.”

“Herman Zainal tertangkap basah mempunyai narkotika golongan dua. Dia seorang pengusaha.” Indra mengulangi formasi yang sudah jelas.

“Gue yang pertama masuk ke rumah. Jujur, untuk orang yang ditangkap basah, dia kelewat tenang. Padahal ada anak istrinya di rumah. Tenangnya bukan karena enggak bersalah, tapi kayak orang menyembunyikan sesuatu,” lanjut Imran.

Aku membaca transkrip interogasi. Dari kata-kata yang ditulis, aku mengerti maksud ucapan Imran. Biasanya mereka dipengaruhi emosi, baik emosi untuk membela diri atau emosi meminta pengampunan. Emosi itu tidak terlihat di transkrip ini. Dia menjawab dengan jelas, malah terlihat begitu kalkulatif. Tidak ada terbata-bata, juga kesaksian yang berubah. Semuanya begitu jelas. Tidak heran jika persidangannya berlangsung cepat.

Kasus ini berjalan lancar. Justru hal itu yang membuatku curiga.

“Gue balik dulu. Siapa tahu besok dapat ilham dan ada perkembangan.” Dia menunjuk nama Big John dan foto Marni. “We’ll get them.”

Meski keyakinan Imran terasa menyambang, di dalam hati aku memupuk tekad untuk tidak berhenti sampai mereka semua tertangkap.

***

The TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang