Setelah selesai makan, Hadijah yang hendak mencuci piring langsung ditahan oleh Eldan. Cowok itu menyuruh Hadijah duduk kembali—biar saja asisten rumah tangga yang mencuci piring.
Dengan perhatian, Eldan menyentuh kepala Hadijah. Agak panas. Mungkin efek dari benturan tadi. Ia pun menyuruh Hadijah untuk beristirahat di kamar tamu. Hadijah sempat menolak, tapi karena Eldan terus memaksa, akhirnya ia menurut. Selama beberapa jam, Hadijah beristirahat di kamar tamu rumah Eldan.
Sesekali, Eldan masuk ke dalam kamar, membawa obat penurun panas untuk Hadijah. Ia juga mengambil makanan agar Hadijah bisa makan malam. Sementara itu, orang tua Eldan belum pulang—entah ke mana mereka. Mungkin masih terjebak macet di jalan.
"Masih sakit, enggak?" tanya Eldan setelah memeriksa kening Hadijah yang kini sudah tidak terlalu panas.
"Udah mendingan. Makasih ya, Dan. Maaf gue ngerepotin lo." Hadijah tersenyum. "Oh iya, gue mau pulang, boleh?"
"Lo udah sehat?" Eldan ragu. Di rumah Hadijah tidak ada orang, dan pintunya masih terkunci. Hadijah mau masuk lewat mana?
"Gak apa-apa, Dan. Gue tadi lihat Rania telepon lo. Kenapa gak diangkat? Maaf ya, kedatangan gue malah ganggu."
"Ngomong apa sih? Biasa aja kali. Gue gak angkat telepon dia karena gue masih kesal. Rania udah bikin lo sakit sampai kayak gini, Hadi. Gue takut lo kenapa-kenapa. Lo tahu kan gue sayang banget sama lo?"
Deg. Ucapan Eldan membuat hati Hadijah melayang.
"Kan Rania pacar lo," ucap Hadijah, mencoba mengembalikan kesadarannya.
"Iya, dia pacar gue. Tapi bukan berarti dia bisa seenaknya bikin lo kayak gini. Lo salah satu teman baik gue, Hadi. Mana rela gue lihat lo kesakitan kayak tadi?"
Deg. Setelah dibawa ke langit, rasanya Hadijah dijatuhkan lagi. Eldan hanya menganggapnya sebagai teman baik. Tidak ada harapan lebih.
"Makasih buat semua perhatian lo," ucap Hadijah pelan.
"Iya, sama-sama. Istirahat lagi gih. Rumah lo kayaknya masih dikunci. Nanti gue anterin sampai depan rumah."
Hadijah mengangguk. "Tapi temani gue ya? Pintunya dibuka aja biar gak timbul fitnah. Lo duduk di lantai temanin gue, boleh?"
Eldan menarik napas dalam. Untung Hadijah yang meminta. Kalau orang lain, ia pasti ogah.
"Oke deh, gue temanin lo."
"Makasih sekali lagi, Eldan."
"Makasih mulu. Bosen gue dengernya."
"Biarin."
Hadijah kembali memejamkan mata. Eldan menatap wajahnya lama, lalu tanpa sadar menyentuh pipinya dengan gemas. Semakin lama ia melihat Hadijah, semakin ia merasa… Hadijah cantik. Bahkan lebih cantik dari—Rania?
Eldan menatap Hadijah dalam diam, mencoba memungkiri perasaan yang mulai tumbuh. Mana mungkin ia menyukai dua perempuan sekaligus? Tapi ini bukan pertama kalinya ia merasa Hadijah itu cantik.
"Gue keluar dulu ya, Hadi," ucap Eldan, mengusap kepala Hadijah pelan sebelum pergi.
Eldan duduk di kursi ruang tamu, merasakan kegelisahan yang semakin mengganggu pikirannya.
"Sepertinya gue beneran mencintai Hadijah," monolognya. "Apa yang harus gue lakukan? Bagaimana dengan Rania?"
Semakin dipikirkan, semakin bingung. Eldan benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
"Gue harus nanya Syifa. Dia kan pakar cinta."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey of Eldan & Hadijah
Novela Juvenil[SEBAGIAN DARI KISAH NYATA] PARA NAMA PEMERAN DISAMARKAN❗ Hadijah, perempuan yang dijuluki ''cewek terserah' jatuh cinta pada lelaki tidak tahu diri yang bernama Eldan. Mau tau kisah selanjutnya? Baca aja