DL | Chapter 2

187 26 0
                                    

SUTSUJIN

Sebelum kita lanjut, gw rasa ada baiknya gw menceritakan sedikit tentang kehidupan gw selama ini. Gw Arthur Sutsujin Sunarkho lahir dari ayah dan ibu berdarah Sulawesi, keduanya yang  mendambakan anak perempuan.

Sayangnya, mereka malah mendapatkan gw. Seorang laki-laki.

Selain itu, gw pernah bermimpi untuk menekuni bidang kedokteran setelah ayah gw meninggal di rumah sakit akibat kecerobohan "para profesional" medis. Sekarang gw berusia dua puluh lima tahun. Gw ga punya teman untuk diajak pergi selama acara yang seharusnya dinikmati anak anak muda. Itulah sebabnya gw memilih untuk mengganggu adik gw.

Hadirlah Praba Hazel Balakosa, seorang adik yang sangat suka gw jahilin. Ia putus sekolah ga lama setelah itu karena keterpukulan akibat ayah yang udah ga ada. Meskipun gw ga tahan sama sikap nya, tapi dia adalah alasan gw memilih untuk terus bekerja keras untuk berada sampai titik ini.

-

Kembali ke pokok pembahasan. Gw seorang dokter residen, gw cuma perlu hal-hal dasar untuk saat ini menjadi dokter.

Gw menarik baju kerja gw yang nyaman. Sangat nyaman sampai gw bisa tiduran di lantai dan memakai pakaian ini semalaman sebagai pengganti piyama gw. Tapi, menurut gw itu bukan hal yang profesional untuk dilakukan di rumah sakit - terutama sebagai dokter residen.

"Oh, Dr. Vel?" panggil gw, begitu gw melihat wajah nya. Ia berbalik dan menyapa dengan senyum lebar dan profesional. "Selamat pagi, Tn. Arthur. Hari ini hari pertama Anda menjalani residensi, benar?"

Gw mengangguk. Gw udah mual dan hampir  mengotori baju gw karena takut dengan rumah sakit sialan ini yang baunya mirip banget sama obat batuk yang pernah gw minum secara paksa saat gw masih kecil.

"Oke. Saya akan menemani Anda selama Anda menjadi dokter residen. Saya yakin Anda sudah tahu cara kerjanya?"

Gw mengangguk.

Gw berbohong, gw ga tahu. gw gak tahu apa pun.

"Bagus," dia tersenyum sebelum berbalik dan mulai berjalan aambil memegang buku catatan di tangannya. Gw berdiri di tempat dan membiarkan dia berjalan beberapa kaki sebelum kesadaran menghantam gw.

Tunggu sebentar, ke mana dia pergi?

Kemudian, dia berbalik dan mengangkat alisnya ke arah gw ketika dia menyadari gw ga mengikutinya. Dia berteriak, "Ikuti Saya, Tuan Arthur. Saya tidak ingin anda terlambat bertemu dengan pasien pertama anda."

"Oh," ucap gw dengan bodoh sebelum berlari mengejarnya, hampir tersandung kaki gw sendiri beberapa ratus kali.

Setelah berputar-putar ke kanan dan ke kiri selama satu jam, dia membawa gw ke sebuah ruangan yang gw asumsikan itu adalah ruang kerja gw, dimana gw bakal menghabiskan waktu yang cukup lama di sana.

"Duduklah," perintahnya. "Pasien pertamamu akan segera datang. Apakah anda gugup?"

"Iya," jawab gw dengan jujur, duduk di belakang meja sambil membetulkan pakaian.

"Saya jamin, pasien punya lebih banyak hal yang mereka khawatirkan daripada Anda," dia memulai. Gw baru aja akan setuju tapi ketika dia melanjutkan: "Kecuali kalau anda harus menangani muntahan, dan banyak darah. Bersiaplah untuk itu."

"Apakah tugas anda adalah memastikan saya menjadi gugup sebelum menemui pasien pertama saya?" Gw berkata.

Inget Thur. Dia senior lu. Jaga ucapan dan perlakuan lu.

Yang ngebuat gw terkejut, dia malah tertawa kecil, "Maaf. Bagaimana kalau saya ambilkan segelas air hangat untuk mendinginkan pikiran Anda?"

"Iya boleh, terimakasih" gw mengangguk.

Dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya berdeham dan berjalan pelan tanpa berkata apa-apa.

-

"Ah, ini pasien pertama Anda," katanya sambil membuka pintu untuk perawat yang bertugas memberi jalan kepada pasien pertama hari itu - atau, pasien pertama gw.

Seorang wanita tua yang tampaknya masih berjuang untuk hidup. Dia berjalan tertatih-tatih menuju meja gw dan duduk, meletakkan tongkatnya dan menatap tepat ke mata gw.

Kita saling menatap dalam diam, terasa sangat lama, sebelum Dr. Vel menyenggol bahu gw.

"Oh, baiklah. Selamat pagi.." Gw melihat ke komputer di meja dan membaca, "..Tuan Greng?"

"Apakah menurutmu saya seperti Tuan Greng?" tanya wanita tua itu dengan nada datar.

"Oh, oops," umpat gw "Sepertinya saya membaca nama di bawah nama anda. Nyonya Aru, apakah benar?" Setelah mendapat anggukan tanda konfirmasi, gw melanjutkan, "Apa masalahnya, Nyonya Aru?"

"Maksudmu masalah kehidupan ku atau hanya mengenai kesehatanku?"

Dokter annavel terkekeh di belakang gw dan pasangan lansia itu berbagi tawa sementara gw duduk di sana, ga merasa  nyaman

"Yah, akhir-akhir ini perutku bermasalah," akunya. "Aku jadi banyak buang angin sejak bulan lalu."

Gw bahkan ga perlu bertanya apa maksudnya - karena, tepat pada saat itu, dia buang angin paling keras yang pernah gw dengar sepanjang dua puluh enam tahun hidup gw.

Ya ampun, cobaan apa lagi hari ini.

Doctor's Love.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang