DL | Chapter 4

436 61 1
                                        

SUTSUJIN

Gw berguling-guling di tempat tidur sebelum akhirnya bangun karena suara alarm yang berdering. Another day another work. Gw duduk di tepi tempat tidur dan memegang kepala gw yang pusing. Lucu juga padahal gw ga minum, tetapi gw lah yang sakit kepala. Di sisi lain, Hazel tampak baik-baik saja; dilihat dari bagaimana ia mengorok seperti orang yang kurang tidur di samping gw.

Gw bahkan udah ga heran kenapa dia tidur di kasur gw.

Gw pun berusaha bangun - dan pada saat itu, flashback tentang tadi malam datang menghantam kepala gw.

"Merdu sekali," kata orang asing itu sebelum berjalan ke arah gw.

Anjir, ini cowo paling ganteng yang pernah gw lihat. Dengan kulit  bersihnya, bibirnya pink, alisnya hitam senada dengan rambutnya, dan matanya yang tajam menatap tepat ke dalam jiwa gw.

Dia tersenyum saat memasukkan tangannya ke saku dan bersandar ke dinding di belakangnya.

Anjir, berotot juga.

"Terusin aja, gw ga ada niatan ngeganggu," katanya dengan suara beratnya.

Gw menatapnya, dengan harus mengangkat kepala gw sedikit. Dia cowo yang tinggi.

"Mengganggu apa?" tanya gw sambil mengangkat sebelah alis, mencoba pura-pura bodoh.

Gw mulai berdoa dalam hati, berharap dia ga mendengar sendawa dan desahan gw yang ga wajar itu. Namun gw tahu ga ada jalan kembali ketika dia membuka mulutnya lagi untuk berkata: "Konser lu itu. Sendawa itu. Desahan itu."

Sial.

"Itu... sebenarnya bukan gw," gw berbohong. "Lu salah mengira gw sebagai adik gw, Praba Hazel. Dia yang ngelakuin."

"Tapi cuma kita berdua di sini?" katanya sambil berjalan ke arah tempat gw berdiri. Gw memperhatikan saat dia mendekat dengan santai dan menyalakan keran, mencuci tangannya, dan melihat dirinya di cermin sebelum mematikan keran dan berbalik untuk menatap gw.

"Iya benar, tapi...," gw berkata, sambil membangun kebohongan lain di otak gw.

Yaampun, Thur. Kenapa lu ga bisa bertanggung jawab atas tindakan lu sendiri? padahal lu sendiri yang ngelakuin.

"Dia teleportasi," kata gw dengan tatapan kosong.

Orang asing itu hanya menatap gw dengan sedikit rasa mengejek "Teleportasi? Wah, gw ga tahu mereka udah menciptakan alat semacam itu. Berapa harganya?"

"Satu ekor kambing," gw meneruskan kebohongan gw. "Dia juga harus menjual jiwanya kepada iblis beberapa ratus kali."

"Bisa lu minta dia untuk ngasih tau ritual apa yang dia lakuin?" katanya sambil menyilangkan tangannya. "Gw juga ingin bisa teleportasi."

Sebenarnya situasi saat ini sangat canggung dan memalukan. Teleportasi ini, teleportasi itu. Kalau bisa, gw akan teleportasi menjauh dari kamar mandi terkutuk ini.

"Kenapa kita jadi ngobrol begini?" kata gw tiba-tiba. "Gw harus pergi."

"Tunggu sebentar," dia mulai.

"Gw ga tertarik," sela gw.

"Tertarik sama apa?" tanyanya sambil tertawa mengejek gw. "Lu ninggalin Hp lu," katanya. Gw berbalik dan melihat Hp gw di tangannya. "Kalo lu ga tertarik buat ngambilnya, gw dengan senang hati akan menyimpannya."

"Balikin," desis gw, berjalan kembali ke arahnya. Dia mengembalikan nya dengan senyuman yang mengejek.

"Ngomong-ngomong, siapa nama lu?" tanyanya saat gw berbalik untuk kedua kalinya. Gw sempat berpikir untuk pergi tanpa menjawab sebelum mulut gw sendiri berkata, "Arthur."

"Arthur apa?" katanya.

"Kenapa lu perlu tau nama gw?"

"Gw perlu nama lengkap lu semisal gw gabut, biasanya gw ngestalk orang di Instagram," candanya. "Gw cuma penasaran."

"Arthur Sutsujin Sunarkho. Lu sendiri?"

"Rinz. Hajirin Rinz Arafat," jawabnya. "Senang berkenalan dengan lu."

-

Gw berteriak sebagai respons atas semua rasa malu yang luar biasa yang menimpa gw setelah mengingat kejadian itu. Ini semua salah Hazel karena menyeret gw ke bar sialan itu.

Gw menoleh kearahnya. Bajingan kecil ini mengigau dalam tidurnya.

Doctor's Love.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang