DL | Chapter 9

162 25 3
                                    

SUTSUJIN

“Kalian berat banget sih,” keluh gw, berusaha ngelepasin diri gw dari tenggeran mereka saat mereka bertiga mengeluarkan suara protes dengan rasa mabuk. Kayak biasa, mereka akhirnya minum bir kebanyakan dan di sinilah mereka bertengger di bahu gw, berharap gw mengantarkan mereka pulang.

Satu masalahnya adalah gw ga bisa mengemudi. Gw gagal dalam tes mengemudi sekitar beberapa ratus kali dan bahkan hampir nabrak lebih dari lima belas orang di tes tersebut.

Jadi gw cuma berdiri di sini, di pinggir jalan ini. Bingung dengan apa yang harus gw lakuin selanjutnya. Dengan hati-hati, gw menempatkan Idok, Dyren dan Skylar di bangku terdekat dan membawa Hazel ke mobil terlebih dahulu, menempatkannya di kursi belakang dan memasang sabuk pengaman. Setelah itu gw pergi mengangkat Dyren lalu Idok dan mengulangi hal yang sama yaitu memasangkan sabuk pengaman dan terakhir gw mengangkat Skylar.

Setelah selesai, gw melakukan streching lalu menghela nafas. Gimana caranya pulang kalo keadaan nya kayak gini?

Sementara itu gw berdiri di luar mobil, sibuk dengan pikiran sendiri - sebuah mobil hitam menepi tepat di belakang mobil Skylar (yang mereka semua tumpangi), dan keluarlah sosok yang gw kenal.

“Rinz?” gw bertanya, menyipitkan mata karena takut salah orang.

Kepalanya menoleh ke arah gw saat namanya disebut, "Loh Dr. Bieber?"

Gw memutarkan mata, "Ga lucu."

Sungguh aneh gimana kita sering banget ketemu - terutama akhir-akhir ini, karena gw yakin gw belum pernah ngeliat dia sebelum gw pertama kali ketemu sama dia di bar.

Gw ga berkata apa-apa selama beberapa detik berikutnya lalu dia berjalan ke arah gw, menyilangkan tangan di depan dada bidangnya dan menatap gw penasaran, "Ada apa?"

"Gw perlu nganterin teman-teman gw pulang, tapi..." Gw mulai malu-malu, mengusap bagian belakang leher. "Gw ga bisa mengemudi."

"Oh yaudah, good luck," komentarnya, berbalik buat pergi sebelum gw memegang pergelangan tangannya dan menariknya.

"Tunggu bentar."

"Ya, gw tungguin."

"Bisa ga kalo lu.. mungkin," gw memulai, ga yakin gimana gw harus minta bantuan. "Kalo lu berkenan."

"Yang jelas ngomongnya, Dok," perintahnya sambil mendecakkan lidahnya. "Gw ga ngerti sama apa yang lu katakan."

"Bisa ga lu.. ngebantu gw ngebawa temen-temen gw pulang?" Gw menjawab. "Gw bayar kok, tenang aja! Sebutin aja nominal nya."

"Wah wah wah," dia terkekeh. "Sabar. Ok, gw akan nganterin mereka pulang. Tapi lu harus ikut soalnya gw ga tau dimana mereka tinggal."

"Ya iyalah jelas gw ikut," gw mengela nafas, berusaha agar dia ga ngeliat betapa leganya gw karena dia bersedia membantu. "Apa, menurut lu gw bakal pulang jalan kaki?"

"Iya, mungkin?" dia tertawa sebelum berbalik ke mobilnya dan berkata "Syalma, bisa ga kamu nunggu sebentar? Ada sesuatu yang terjadi. Aku akan segera kembali."

Seorang wanita asing mengintip keluar dari mobil. Meskipun gw ga dapat melihatnya dengan jelas.

"Itu pacar lu?"

"Ya engga lah," Rinz tersedak. "Itu adik gw."

“Maaf,” gw mengangkat bahu sebelum masuk ke mobil Skylar dan duduk dikursi penumpang, memperhatikan Rinz yang berjalan ke sisi lain sebelum masuk ke kursi pengemudi.

Dia menggulung lengan bajunya hingga siku lalu berbalik menghadap gw, “Sabuk pengaman.”

"Oh," gw bergumam, malu. Gw menarik sabuk pengaman dan mengencangkannya sebelum berbalik menghadapnya, “Udah oke sekarang?”

"Aye aye captain," dia tersenyum. "Lu benar-benar memercayai gw? seorang pria yang baru lu temui dua kali dengan ngasih gw alamat teman-teman lu?"

"Gw akan ngasih lu alamat gw aja," gw menjawab. "Gw ga mau ngerepotin lu, pergi ke tiga rumah yang berbeda pasti ngebuat capek."

"Tiga? Kalian berempat," katanya sebelum menyalakan mobil.

"Yang itu dan gw tinggal barengan," kata gw sambil menunjuk Hazel yang mengigau.

"Oh paham," dia mengangguk. "Pacar?"

"Dia adik gw."

"Ok," dia mengangguk. “Ga ngerepotin sama sekali kok, kasih tau aja alamat rumah mereka, lu bisa percaya sama gw."

"Jujur," gw memulai sambil memandang ke luar jendela. “Gw ga tahu di mana mereka tinggal. Bawa aja mereka ke rumah gw.”

"Oh keren banget," dia terkekeh, mengetuk-ngetukkan jarinya ke kemudi lalu mengendarai mobil keluar dari tempat parkir. "Gw bercanda, gw juga ga tahu di mana teman-teman gw tinggal."

"Lu punya teman?" canda gw.

Dia mengabaikan gw dan bersenandung lembut. Kami duduk diam selama beberapa menit, satu-satunya suara yang terdengar adalah tiga orang idiot di belakang kita berdua yang mengigau seperti sekelompok babi hutan.

Beberapa menit kemudian, Rinz angkat bicara, “Sepertinya ada masalah dengan kesehatan gw, Dok.”

"Apa masalahnya?" Gw bertanya, prihatin.

"Gw mungkin memerlukan transplantasi hati," dia memulai dengan suara lembutnya sebelum senyuman muncul di wajahnya. “Karena lu baru saja mencuri hati gw.”

Gw menatapnya dengan tatapan kosong.

"Tuan Rinz, saya adalah dokter Anda," gw mengingatkannya.

“Tuan Rinz?” dia bertanya. "Kenapa bahasanya jadi formal banget? Ditambah lagi, kita ga lagi ada di rumah sakit sekarang."

"Udah diem dan perhatiin jalannya."

"Oke, Dokter Arthur."

Doctor's Love.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang