Ruangan yang sudah dipenuhi oleh guru bahkan kepala sekolah yang sedang menatapnya dengan tatapan tak percaya sedikit membuat Raken malu untuk mengangkat kepalanya.
Ah...
Kalau ini memang akhirnya, ia akan terima. Tapi yang ia pikirkan saat ini adalah Yadi. Bagaimana jika cowok kecil itu mengetahui hal bejat yang ia lakukan semasa dulu. Apa cowok kecilnya itu masi menerimanya.
Segala pikiran terus memenuhi otak Raken sampai tidak sadar jika ia sedang berdiri dihadapan banyak guru.
"Raken silahkan duduk!" Perintah salah satu guru yang disebut guru Bimbingan Konseling (BK).
Mendengar perintah itu, Raken sedikit tersentak dan segera duduk di kursi tengah-tengahnya semua guru.
"Ceritakan semuanya... Dan jangan ada yang di tutupi." Perintah kembali guru tersebut yang bernama Ibu Hilmi. Sedangkan guru lainnya hanya melihat menunggu jawaban dari Raken.
"Saya tidak pernah mengaborsi."
"Sialan lepasin gua Ko!"
Saat ini Rian ditarik paksa oleh Rako untuk keluar dari ruangan yang mereka tempati tadi sampai menuju ke lapangan. Semua tatapan menuju ke arah mereka, tapi Rako tak menghiraukan itu sama sekali. Tujuannya hanya satu saat ini, mencari kebenaran yang sebenarnya terjadi. Karena jujur saja, ini cukup membuat ia sakit kepala.
"Lu ngomong disini dan kasi tau semuanya!" Perintah Rako setelah mendorong tubuh Rian sampai terkapar di lantai-tepatnya di lapangan basket.
Sial!
Rian melihat sekeliling, memperhatikan semua tatapan yang menuju ke arahnya. Sampai penglihatannya terhenti pada satu tempat yaitu kelas lantai dua bagian ujung.
Renal disana berdiri diam menyaksikan semua ini.
"Renal... Woi Renal!!" Teriak Rian tapi Rako malah menarik kerah seragamnya sampai membuat ia sedikit tercekik. "Sial..." Rian meringis dengan wajahnya yang memerah setengah mati menahan cengkraman Rako yang begitu kuat di lehernya.
"Gua nyuruh lu ngomong bukan malah liat ke arah lain."
"Ko... Lu harus... Sial-an lepasin gua dulu... Gua gak bisa nafas brengsek!"
Rako menatap tepat di manik mata Rian sampai cengkraman nya ia lepaskan. Entah ia merasa ada yang aneh dengan situasi ini.
"Uhuk! Uhuk! Hah... Lu liat... Bagian ujung kelas bawah!" Ucap Rian setelah berusaha mengembalikan oksigen yang sempat tadi tertunda.
Mendengar itu, Rako langsung mengalihkan tatapannya. Dan melihat Renal disana sedang berdiri menatap lurus ke arahnya.
Ia mengernyit menatap bingung, disana ia hanya melihat Renal sedang berdiri dengan wajah santai bahkan ia sempat melihat cowok itu berbincang dengan siswa yang sedang lewat.
Sampai pada akhirnya, Rako menyadari satu hal...
"Hahaha.."
Rian mengernyit melihat Rako yang malah tertawa.
"Ternyata... Persahabatan ini gak pernah ada."
Ucapan itu hanya membuat Rian bingung dan memilih untuk tetap bungkam.
Tring!
si badan kecil:
Jackpot!Dan disanalah mereka melihat Renal sedang tersenyum penuh arti dengan ponsel yang ia genggam.
Notifikasi pesan yang terdengar dari ponsel Rian adalah jawaban dari semua masalah ini.
Rako mengernyit merasakan kepalanya yang terasa sakit tiba-tiba. Suara dengungan disetiap sisi kepalanya langsung membuat tubuhnya jatuh dengan posisi duduk. Darah yang mengalir tiba-tiba dari hidungnya langsung membuat semua mata tertuju disana berteriak menghampiri ke arah Rako.
"Rako!!" Rian langsung menopang tubuh Rako ketika cowok itu hampir terjatuh di lantai dengan darah yang sudah penuh di tangannya. Melihat Rako seperti ini, membuat hatinya terasa sakit. Ia memang membenci mereka tapi jika melihat Rako harus seperti ini, ia tak bisa.
Karena sedari dulu ia menaruh perasaan ke cowok ini.
Ia menyadari satu hal, bahwa selama beberapa tahun ini mereka selalu bersama. Ia tak bisa munafik, jika mereka membuatnya nyaman. Mengisi segala kosongan dirinya sejak dulu. Rasa hangat dari mereka membuat ia menjadi semakin serakah dan menginginkan Rako untuk menjadi miliknya. Tapi jika ini akan membuat ia kehilangan Rako untuk selamanya, lebih baik ia mati daripada hidup tanpa Rako.
Diki yang baru saja kembali dari belakang sekolah menatap heran dengan kerumunan di lapangan. Berusaha untuk tidak berpikir macam-macam ia berlari dan menghampiri tempat dimana siswa banyak berkumpul. Dan saat ia berhasil melewati beberapa kerumunan itu, ia melihat tubuh Rako sudah terbaring dengan darah yang penuh di tangan cowok itu dan hidungnya. Di sampingnya ada Rian sedang menggenggam kuat tangan Rako dengan wajah memerah seperti menahan tangis.
"Rako?" Gumam Diki yang terdengar oleh Rian.
Rian menoleh dengan bibir cowok itu bergetar sambil menggenggam tangan Rako yang semakin melemah. "Ki... Si Rako... Gak bernafas."
"Lu jangan ngomong sembarangan!" Diki menjawab sambil segera berjalan menghampiri tubuh Rako dan menarik tubuh sahabatnya itu. Dan benar saja, ia tak merasakan detak jantung cowok itu lagi.
Tubuh yang biasanya hangat kini terasa dingin dan kaku tak membalas pelukannya. Deru nafas yang tenang tak lagi terasa di kulitnya. Bahkan detak jantung yang selalu be ritme dengan santainya tak lagi terdengar di pendengarannya.
Rako dengan segala sikap hangat yang di miliki. Bahkan meninggalkan seribu rahasia yang tak pernah di ceritakan oleh cowok itu, kini terbaring kaku sudah tak bernyawa.
Tubuh Diki bergetar tak bisa mencerna apa yang sudah terjadi. Dan teman-temannya menghilang kemana saat Rako seperti ini.
"Diki!" Diki menoleh dan melihat Jeko yang baru saja datang sambil berusaha mengatur nafasnya. Terlihat jika cewek itu berlari untuk segera sampai sini. "Rako pingsan?!"
"Dan kenapa kalian semua diem! Ayo angkat Rako!" Kesal Jeko dan langsung menghampiri tubuh Rako. "Lu pasti kurang istirahat sampai begini Rako..." Sambil menggenggam pipi Rako yang terasa dingin. "Tubuh lo sampai dingin begini"
Diki menarik tangan Jeko dan menatap cewek itu sangat dalam. Sedangkan Jeko yang ditatap seperti itu menatap heran dan menarik tangannya kembali merasa aneh atas sikap Diki. "Kalau lo pada gak mau angkat Rako biar gue yang angkat!"
"Dan Lo juga Diki! Ngapain lo malah bengong dan gak bantu temen lo! Lo semua pada kenapa?! Ha?! Saat Rako begini lo pada semua hilang entah kemana, sedangkan Rako? Rako selalu ada di samping kal-"
"RAKO UDAH GAK ADA!" Teriak Diki dengan air matanya yang tak bisa ia bendung lagi. "Rako... Udah ninggalin kita, dia..."
"Lo... Jangan omong kosong" Jeko menggeleng tak percaya sambil menggenggam langsung tangan Rako dan benar saja ia tak merasakan denyut nadi cowok itu lagi. "Ini semua pasti bohong..." Ia masih berusaha dengan mendekatkan telinganya pada dada Rako dan hasilnya tetap nihil.
Detak jantungnya berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
YAKEN [21+] (on going)
RomanceYadi memulai hidup dengan tinggal di rumah Raken setelah orang tua nya di nyatakan meninggal. Selama dua tahun itu juga Yadi menjalin hubungan dengan cowok tempramental yang selalu menyiksa batin dan fisiknya. Raken adalah seorang cowok tempramental...