13. Ikut Campur

28 17 1
                                    

Cantika: Halo, Kak. Maaf tiba-tiba ngehubungi. Aku Cantika.

Rasanya gugup. Sekitar jam 8 malam, aku nekat mengirimkan pesan melalui sosial media pemilik akun Anaina. Namun, setelah satu jam dikirim, pesan belum juga mendapat balasan. Untuk makan saja rasanya kepikiran. Aku terus-terusan masuk dan keluar dari akun Insta-ku. Siapa tahu aplikasi ini sedang gangguan sehingga tidak ada notifikasi ketika pesan masuk. Mungkin saja, 'kan ....

Anaina: Iya, Kak?

Akhirnya pesanku dibalas juga. Tanpa sadar badanku langsung berdiri dan meninggalkan piring yang isinya masih tersisa setengah. Aku mendudukkan diri di kursi belajar dan fokus mengetik yang semenjak tadi sudah mengumpul di kepala.

Cantika: Maaf, Kak, mau tanya. Kakak kenal Kak Aka udah lama, ya, Kak? Sebelumnya nama saya Cantika, Kak.

Gigiku mengigiti jari. Menunggu balasan Anaina membuat degup jantung mempercepat sendirinya. Kakiku juga jadi naik ke atas kursi tanpa sadar. Setelah pesan baru masuk, bola mataku bergulir cepat membaca pesan, kemudian gantian jariku mengetik balasan secepat mungkin.

Anaina: Belum, Kak. Baru ada sekitar satu bulan ini. Kenapa, ya? Kakak siapanya Aka?

Cantika: Kenal dari mana, Kak? Udah lumayan lama, ya ....

Tidak membalas pesanku, Anaina kembali menanyakan siapa aku bagi Aka sebenarnya. Padahal aku sengaja mengabaikan pertanyaannya tersebut, tetapi rupanya ia tidak kukuh menanyakan itu. Jariku jadi berhenti mengetik.

Bilang temen? Tapi nyatanya, 'kan, bukan .... Lagian, enggak apa-apa, 'kan? Dia emang harusnya tahu kalau Aka baru aja putus dariku ....

Cantika: Mantannya, Kak. Maaf, ya, Kak. Aku cuma penasaran aja soalnya Aka enggak ngejelasin rinci alasannya putus. Kami juga baru dua mingguan ini putus.

Semakin menunggu, rasanya ketikan Anaina semakin lama. Atau memang ia sedang menulis cerpen hubungannya dengan Aka? Yang jelas, rasanya semakin gugup.

Anaina: Kami kenal karena dikenalin sama senior Aka, Kak. Seniornya sepupu aku. Tapi, Kak, kayaknya itu bukan urusanku, deh? Lebih baik tanyain ke Aka aja, jangan ke aku. Lagian, sekarang kalian udah putus, 'kan? Maaf, Kak, aku juga baru tahu kalau Aka ada cewek.

Rupanya benar, Anaina mengetik cukup panjang. Berdasarkan jawabannya, itu artinya Aka menemui Anina ketika ia masih menjalin hubungan denganku. Mataku rasanya panas lagi, tetapi untungnya kali ini pertahananku lebih kokoh. Aku tidak menangis. Namun, sebagai gantinya amarah justru menguasaiku.

Cantika: Aku udah nanya Aka, tapi enggak ngejelasin, Kak. Ternyata karena selingkuh, makanya enggak bisa ngomong. Maaf, ya, Kak, kalau tiba-tiba chat gini.

Cantika: Cuma mau ingetin ke Kakak aja, kalau Aka orang yang kayak gini. Dia tiba-tiba mutusin aku setelah ketemu Kakak. Bukan enggak mungkin, 'kan, dia bakal ketemu cewek lain lagi?

Cantika: Kak, aku ngomong ini sebagai sesama perempuan. Jujur, aku juga salah karena jadian sama dia waktu dia baru aja putus dari mantan sebelumnya. Aku buta karena cinta. Dia emang ahli banget buat kita ngerasa nyaman dan spesial.

Cantika: Makanya, Kak. Cuma mau bilang, mending Kakak pikirin lagi soal ini, Kak. Aka juga udah ngasih janji-janji manis ke aku, tapi nyatanya dia tetep pergi juga.

Masih mengetik kelanjutan pesanku, Anaina lebih dulu mengirim pesan.

Anaina: Makasih buat sarannya, Kak. Tapi aku bisa urus ini sendiri. Kita juga enggak kenal. Mending selesaiin urusan Kakaknya sama Aka aja. Jangan malah bilang kayak gini ke aku.

Rupanya pertahanku tidak sekuat itu, tetapi untung saja kali ini hanya setetes-dua tetes saja. Bibirku jadi tersenyum sini, kemudian air mata turun makin deras.

Sakit banget, tau enggak, sih, Kak? Padahal aku cuma niat buat ngasih tau aja biar dia tahu, biar Aka enggak seenaknya lagi, tapi jawabannya? Dia seolah bilang kalo aku enggak perlu ikut campur. Iya, aku emang udah ikut campur. Tapi kamu? Kamu juga masuk ke hubunganku sama Aka tanpa izin, tahu enggak, sih? Siapa sebenernya yang lebih ikut campur di sini?

**

"Kamu chat Anaina?" tanya Aira sudah heboh sendiri. Kami berempat sedang menyantap makan siang di kantin kampus. Seperti biasa, kami bergantian bercerita mengenai kisah kami. Namun, karena saat ini masalahku yang sedang sampai pada puncaknya, mereka mengalah dan memilih mendengarkanku.

"Terus, dia bales apa?" Kali ini si gadis berkacamata--Sani--ikut berkomentar tidak kalah heboh.

Tanpa banyak pertimbangan, aku menyodorkan ponsel berisi pesanku dengan Anaina semalam. Ketiga orang kepo itu langsung mengelilingi ponselku untuk membaca isi pesan. Namun, karena sulit, Sani menjauhkan ponsel itu dan menyarankan untuk bergantian saja. Setelah selesai membaca, satu per satu dari mereka mulai berkomentar.

"Wah, dia sopan, sih, ngomongnya. Maksudnya masih pake 'maaf' sama 'makasih' gitu, loh. Tapi kalo diresapi ... kok agak gimana, ya? Atau emang dianya enggak mau dengerin kali, ya?" Komentar pertama keluar dari mulut Sani. Ia mengaduk-aduk es jeruknya--tawar--dengan terlihat sedikit kesal.

"Kamu bilang gini, Can?" Aira sedikit terkejut dengan pesanku.

Aku mengangguk. "Iya, soalnya dia emang harusnya tahu, 'kan? Aku juga enggak lagi ngejelekin Aka, kok. Cuma ngasih tahu fakta aja. Soalnya aku juga kesel banget semalam tahu kalau mereka udah deket sejak sebulan ini."

Angel tampak tersenyum setelah membaca isi pesanku. "Biarin aja, Can. Biarin aja waktu yang buka keburukan Aka. Lebih baik kita doa aja buat kebaikan kita sendiri. Nanti juga bakal ada sendiri balasan buat orang yang nyakitin."

Ucapan angel memang selalu adem dan menenangkan. Mungkin sesuai namanya "Angel", sosoknya juga seperti malaikat. Namun, rasa kecewa dan amarah tidak juga enyah meski mendengarkan kalimat teduh tersebut. Rasanya aku jadi ingin menghubungi Aka lagi. Menanyakannya lagi soal Anaina yang ditemuinya ketika ia masih menjalin hubungan denganku. Lalu, perkara kue sebagai hadiah sidang skripsi juga ingin aku tanyakan. Aku ingin tahu semua kenyataannya, meski lagi-lagi aku tahu sedang menyakiti diriku sendiri.

(No) Life After BreakupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang