Sani: Iya? Udah, terus gimana? Enggak ada postingan apa-apa, kok.
Mendapat balasan dari Sani membuatku buru-buru melesat ke indekosnya. Tidak lupa aku membawa puding di dalam kulkas untuk Sani. Bukan sogokan, kok, Sani memang suka tiap kali aku membawa makanan.
Sesampainya di depan kamar Sani, aku mengetuk pintu cepat-cepat dan terus memanggil namanya. Seperti biasa, gadis itu akan menampilkan wajah terkejut karena aku yang datang tiba-tiba. Melihat senyumku dan kotak makan di tangan, Sani mempersilakan masuk. Gadis itu langsung saja membuka kotak makan dan mulai menyuap puding ke mulutnya.
"Instamu diblokir, ya?" tanya Sani tepat sasaran. Rupanya gadis itu sudah mendapatkan jawaban tanpa perlu aku beri tahu.
Aku menyengir lebar untuk membalas ucapannya. "Kenapa, sih, pake diblokir segala? Dia ngajak musuhan, yah? Padahal aku enggak posting yang gimana-gimana, cuma sekali itu aja nge-chat dia. Huh, pokoknya aku sebel, deh. Aku entar mau cerita ke kamu, San. Aku rasanya pengin nangis lagi, deh. Dengerin, ya?"
Sani tertawa dan susah payah menahan puding di mulutnya agar tidak muncrat. "Boleh ... boleh .... Lucu banget diniati mau nangis nanti. Sekarang aja ...."
"Enggak, San. Aku mau nangisnya malem aja. Masa siang-siang gini, sih? Nanti pokoknya aku nginep, ya, San." Meskipun terdengar aneh dan membuat Sani tetap tidak bisa menahan tawanya, rencana tersebut tetap akan kami lakukan. Aku ingin menceritakan hal-hal yang masih aku sembunyikan darinya selama ini. Rasanya aku butuh didengar lagi setelah sekian lama memendam hal-hal yang sebenarnya sangat menyakitkan buatku.
**
Jam menunjukkan pukul dua belas dini hari dan aku belum menangis.
Benar, kami justru tertawa karena aku yang semenjak tadi tidak berhasil menangis. Sani lebih-lebih. Gadis itu terus saja tertawa dan mengatakan rencanaku tidak masuk akal. Harusnya orang menangis saat ingin, bukan direncakan seperti ini.
"Ayo, aku setelin lagu," kata Sani. Meskipun begitu, kami masih saja tertawa. Padahal semenjak tadi aku ingin sekali menangis dan mengeluarkan semuanya kepada Sani. Namun, rupanya sulit atau memang air mataku yang sudah terkuras habis?
Sial, lagu Bernadya. Alhasil aku meresapi betul-betul lagu tersebut dan meminta Sani melakukan hal lain. Aku butuh waktu agar perasaan ingin menangis itu kembali. Pokoknya aku harus menangis hari ini! Biar! Biar tumpah semua sekalian dan besok harus lupa.
Sampai jam menunjukkan pukul 12.30 dan air mata belum keluar, aku menyerah. Aku menceritakan hal-hal menyedihkan tersebut kepada Sani dengan iringan lagu Bernadya. Awalnya sama sekali tidak menangis. Aku masih bisa tersenyum ketika menceritakan hal-hal tersebut. Namun, rupanya semakin lama bercerita membuat mataku basah sendiri. Tanpa sadar air mata turun juga. Pun Sani, meskipun gadis itu berulang kali mengusap pipinya menggunakan selimut.
"Aku, tuh, udah ngerasa kalau dia cowok yang baik banget, San .... Dia juga rajin ibadah gitu, sering ngingetin, family man banget ... pokoknya kayak semua kriteria cowok impianku, tuh, ada di dia. Aku udah sesayang itu sama dia, San .... Kok bisa, ya, dia ...." Air mataku turun juga semakin deras. Kali ini nyaris tidak ada yang aku tutupi dari Sani. Semua cerita tentang hal buruknya padaku sudah kukatakan pada Sani. Aku merasa perlu menceritakannya untuk lega.
Jam menunjukkan pukul satu dan Sani sudah terlihat kesusahan menahan kantuknya.
"Pasti udah ngantuk, ya, San? Dari tadi, sih, malah ketawa!" Aku tertawa lagi, sedangkan Sani memandangku dengan tersenyum kecil. "Satu lagi, San. Kukira aku udah nyoba ngertiin dia, udah ngasih dia waktu buat sendiri dulu, tapi dia ternyata mikir buat mutusin aku udah agak lama. Maksudnya kenapa enggak dari awal bilang salahnya aku di mana atau yang kurang dia suka, tuh, di mana ... biar aku tahu. Atau kalau emang enggak mau lagi sama aku, kenapa enggak bilang dari awal? Iya, pasti sama aja sakit karena dulu, tuh, aku lagi bahagia-bahagianya. Tapi sekarang, aku udah nungguin dia yang enggak ada kabar lama, aku udah berharap dia enggak bener-bener pergi dari aku, tiba-tiba bilang kayak gitu.
"Sedih banget, San. Kayak ternyata usahaku, penantianku, tuh, sia-sia, yah? Dia emang dari awal udah enggak ada hati buat aku. Udah enggak ada peluang lagi buatku sejak dia hilang kabar itu. Sakit banget, San .... Apalagi dia sekarang udah ada cewek. Dia udah enggak sedih sama sekali, San. Sedangkan aku? Aku enggak ada siapa-siapa selain dia .... Rasanya aku masih sedih banget, kecewa banget, liat dia udah bahagia gitu bikin kesel, San. Dia enggak nganggep kami yang kemarin, tuh, apa-apa, yah? Dia enggak anggep aku siapa-siapa. Cuma salah satu dari sekian mantannya yang emang enggak pengin dia seriusin. Atau emang aku yang salah, ya, San? Harusnya aku sadar sejak awal waktu sikapnya mulai berubah itu."
Aku masih menangis dan ucapanku jadi kemana-mana. Aku merasa ucapanku tidak konsisten. Kadang kesal dengan Aka, tapi di sisi lain juga kesal dengan diri sendiri. Aku jadi terus memikirkan sikapku yang mungkin tidak disukai Aka selama ini. Mungkin karena aku sering bersikap imut dan manja? Atau karena aku terus menuntutnya agar bisa membalas pesan? Aku tidak tahu sebenarnya kesalahanku yang mana yang sampai membuat Aka hilang rasa. Namun, Sani terus saja menenangkanku. "Enggak, Can .... Enggak .... Bukan salahmu, kok. Yang mutusin juga Aka, dia juga yang enggak ngejelasin. Jangan nyalahin diri sendiri gini, Can."
Begitulah pembicaraan malamku dan Sani berakhir. Meski hanya dengan sedikit air mata, aku cukup merasa puas bisa mencurahkan isi hatiku selama ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
(No) Life After Breakup
RomansaSeorang wanita muda yang baru merasakan jatuh cinta berusaha mewujudkan cinta yang selama ini diimpi-impikannya. Ia pikir memiliki pacar tampan, mapan, perhatian sudah berhasil diwujudkannya. Namun, tiba-tiba saja dunia terasa berputar. Kenyataan ti...