“Keputusanku sudah bulat. Aku tak akan mengambil atau merebut tanah itu lagi.” Putusan final Everett.
Membuat paman, bibi dan para sepupunya sukses meradang. Terpaksa menelan amarah sebab Everett yang tetap pada keputusannya. Padahal tujuan awal mereka membuat Everett merasa bersalah dan mengambil kembali tanah itu.
“Tetapi Presdir, jika kita melepas tanah itu. Bagaimana proyek kedepan? Tanah itu merupakan Mega Project perusahaan kita untuk tahun ini. Mengesampingkan beberapa project kecil yang sudah kita ambil.” Salah satu Direktur yang berada di pihak netral bertanya.
Everett tersenyum mendengar ini “Pertanyaan paling berbobot yang aku dengar selama rapat.”
“Tentu saja, aku tidak akan melepaskan ikan besar jika tidak menangkap ikan yang lebih besar.”
Tanpa memberi jeda untuk mereka yang di ruang rapat berpikir lebih jauh. Everett mengeluarkan setumpuk dokumen yang membuat mereka terkejut bukan.
“Proyek pengembangan Resor? Presdir ini proyek terbesar untuk tahun ini dari kementrian pariwisata?”
Everett mengangguk berhasil membuat tatapan takjub dari karyawannya sedangkan para kerabatnya semakin berwajah masam.
Mega Project yang lebih menjanjikan dari Project Hunian di Area pengembangan yang telah Everett alihkan pada Athlas.
Proyek Resor ini akan jauh lebih menguntungkan terutama karena sponsor untuk Resor ini dari brand-brand ternama. Jika tanah di area pengembangan itu merupakan pai daging yang bisa di ambil alih oleh perusahaan real estate manapun.
Maka proyek Resor ini ibaratkan hidangan mewah yang tak satupun dari mereka bisa mencicipinya. Proyek Hunian memang terbilang stabil karena dibutuhkan setiap saat namun Resor ini lebih mendatangkan banyak keuntungan.
“Aku berharap tim pengembang bisa menjalankan Mega Project terbaru kita dengan baik. Berita terkait ini akan segera rilis. Dan aku yakin setelahnya akan banyak kerjasama yang berdatangan.”
Dengan kalimat itu diamine oleh pihak karyawan. Everett menyudahi rapat kali ini yang berakhir dengan sekali lagi kemenangannya melawan keluarganya sendiri.
****
Caspian menatap khawatir pada Everett yang bergegas ke kamar mandi khusus di ruangannya. Tanpa jijik Caspina menyusul membantu mengusap tengkuk Everett yang tengah muntah.
“Aku akan membuatkanmu teh jahe. Tunggu disini.”
Tak butuh waktu lama Caspian bergegas pergi setelah memastikan Everett beristirahat di sofa khusus yang ada di ruangannya.
Hanya beberapa menit yang digunakan sampai sekertaris Everett ini kembali dengan secangkir teh dengan beberapa camilan.
“Terima kasih.”
Everett segera mengambil alih cangkir di tangan Caspian, menghirup aroma yang sedikit meredakan mualnya sebelum menyesap teh hangat yang membuat perutnya terasa lebih baik.
“Apa aku perlu menghubungi Tuan Abraham? Lihat kondisimu? Sejak pagi kau hanya makan roti saja dan itupun sudah kau muntahkan. Wajahmu juga pucat.”
“Aku yakin rumor terkait kesehatanmu yang semakin memburuk akan memanas lagi.”
Omelan Caspian itu hanya ditanggapi senyum tipis Everett yang mengusap perutnya.
“Biar saja, semakin panas rumornya mereka akan semakin lengah.”
“Dan jangan menghubungi Athlas. Aku baik-baik saja, mungkin masih perlu beradaptasi lagi disini.”
Caspian menghela nafas menuruti saja perintah Everett. Namun tak ayal sesuatu membuat rasa penasarannya menyeruak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ambivalence
General FictionAm·biv·a·lence /amˈbiv(ə)ləns/ The state of having mixed feelings or contradictory ideas about something or someone. Just story between Athlas and Everett