022 I'am Asha (Kepindahan)

35 16 21
                                    

Sore itu kami menginggalkan rumah kami, bersama kenangan yang tak mungkin aku lupakan. Langit sore yang sedikit mendung menyertai kepergian kami, aku duduk di bangku belakang sedangkan Mama dan Papa duduk di bangku depan. Papa berbeda dengan jambang yang mulai samar-samar terlihat, ia tampak berantakan meski dengan kemeja putih yang di gulung hingga siku. Sesekali ia menyugar rambutnya yang memang lebih panjang, jemarinya mengetuk stir sesekali sembari mengikuti ketukan musik yang menggema dalam mobil. Mama pun tampak sibuk dengan layar tablet yang begitu asing dalam pandanganku, tak ada percakapan sama sekali seolah mereka tak ingin mengetahui kabarku.

Bingung. Aku ingin bertanya alasan kepergian mereka atau dimana keberadaan mereka selama ini. Aku rindu pada mereka, namun perasaan itu seolah tak bersambut. Tak ada percakapan sama sekali, hanya ada suara dari balik speaker mobil, deru ban yang terdengar sedikit lembut, dan hujan yang perlahan turun tanpa di minta. Aku menatap jendela mobil, melihat laju kendaraan yang semakin lama semakin sepi, bahkan saat kami memasuki area jalan tol. Aku menghela napas.

Langit telah malam saat mobil tiba di sebuah pekarangan rumah yang cukup luas, sebuah rumah dengan cat dominan putih tampak berdiri dengan gagah. Aku menelisik sekitar, rasanya asing. Semakin asing saat Mama keluar begitu saja dari mobil dan untuk pertama kalinya Papa menoleh ke arahku dan berkata, "Acha, sekarang kita tinggal di rumah Kakek Albert. Jangan nakal ya." Suara Papa terdengar serak saat mengatakannya, aku menganggukkan kepala tanda memahami perkataannya.

Seorang laki-laki senja tampak keluar dari rumah, ia menyambut kedatangan kami dengan senyuman lebar. Aku dapat melihat caranya menatap Mama begitu lembut, hal itu membuatku menoleh pada Papa. "Dia kakek?" Tanyaku. Pertanyaanku di jawab oleh anggukan kecil Papa, aku membalas senyuman Papa.

Papa akhirnya keluar dari mobil, membukakan pintu untukku yang ragu untuk keluar. Tangan besar Papa yang terasa kasar mulai menggenggam jemariku. Hangat. Aku dapat merasakan kehangatan dalam genggaman tangannya, dengan langkah kecil aku menyusul Mama yang masih mengobrol dengan Kakek. Langkahku terhenti pandanganku dan Kakek bertemu, senyuman lembutnya perlahan memudar berganti dengan ekspresi dingin. Saat itu dari matanya aku tahu, sebuah rasa bencinya begitu jelas ia tujukan padaku. Aku semakin mengeratkan genggamanku pada Papa. Takut.

"Ini anak aku sama Abraham, Pa," Mama mengenalkanku pada Kakek. Aku mengulurkan tangan untuk memberikan salam, namun ia membiarkan tanganku di udara.

"Oh, semoga dia bisa betah," ujarnya langsung masuk ke dalam rumah tanpa basa-basi.

Aku dapat merasakan genggaman Papa yang begitu erat di tanganku, aku menurunkan tanganku dan menoleh padanya. Ekspresi marah tampak di setiap inci wajahnya, bukannya menjadi penengah Mama malah menyusul Kakek yang pergi. Aku menundukkan kepala, menatap ubin marmer rumah ini yang tampak begitu indah.

Rasa kecewa menghampiriku tanpa rasa ragu. Malam itu aku tinggal di kamar besar di lantai dua, kamar dengan kasur berukuran queen size itu terasa terlalu luas dan sebuah boneka beruang besar duduk di tengahnya. Kamar dengan cat putih ini terasa begitu mewah dan manis di saat bersamaan. Malam itu aku tak dapat tidur di kamar luas itu, bukan karena fasilitasnya namun karena rasa sepi perlahan menggerayangi tubuhku tanpa ragu.

Keberadaan Mama dan Papa pun terasa semakin jauh, kami hanya bertemu di saat waktu sarapan dan makan malam. Makan malam pun akan lengkap jika tak ada yang mendadak rapat atau lembur, saat itu hanya ada Kakek dan beberapa asisten rumah tangga di rumah. Namun, rasanya rumah luas ini terasa masih asing. Kakek tanpa ragu selalu langsung menuju ruang baca setelah sarapan dan makan siang, para asisten rumah tangga pun begitu enggan bermain denganku termasuk Bi Tati.

"Gimana rumah barunya?" Om Bintang tampak berjalan dengan santai, menghampiriku yang duduk di samping kolam renang. Aku menoleh ke arahnya. Genap satu bulan aku pindah ke rumah ini, baru kali ini Om Bintang menyapaku. Ia biasanya sibuk mengikuti langkah Papa atau hanya duduk dengan banyak dokumen di ruang kerja Papa.

Aku menoleh ke arahnya, mengalihkan pandangan dari buku di tanganku. "Gak asik," jawabku singkat. Ekspresi keheranan tampak di wajahnya, aku menutup bukuku.

"Kenapa? Oh iya ujiannya gimana?" Om Bintang duduk di kursi kosong sampingku. Ia tampak lebih santai dengan kemeja biru yang di gulung hingga siku, namun wajahnya tampak benar-benar kusut.

"Ujiannya udah beres sebelum pindah," jawabku. Aku kira dengan kepindahanku ke rumah ini, aku akan sering bertemu dengan kedua orang tuaku. Ternyata perkiraanku salah, mereka bahkan tampak sibuk dengan urusan masing-masing.

Keheningan menenggelamkan kami berdua. Om Bintang tampak menatap kolam renang yang kebiruan, ia seolah sedang mengingat memori dalam hidupnya. Tanpa sengaja saat aku menoleh ke arah Om Bintang aku melihat Kakek yang berdiri di balkon lantai dua, matanya begitu tajam menatapku. Aku langsung mengalihkan pandanganku pada hal lain, dalam hati pun sejujutnya aku takut dengan keberadaan laki-laki senja itu. Ia menatapku dengan pandangan jijik, begitu berbeda saat dirinya bertemu dengan Mama.

"Aku gak betah, Om," aku menunduk menatap jajaran semut yang berjalan entah dari mana kemana.

"Kenapa?"

"Mama sama papa gak ada," jawabku singkat. Aku mengangkat kepalaku, menatap tembok tinggi yang di hiasi dengan batu granit. Keheningan di antara kami membuatku menoleh saat itu. Ternyata Om Bintang sedang menoleh ke arahku, wajahnya begitu sendu melihatku.

"Maafin mereka ya, Papa kamu sibuk urusin perusahaan Tuan Albert – nama Kakek dan Mama kamu lagi opening butik impiannya. Mereka lagi ngejar mimpi mereka," ia tampak berusaha menjelaskan keadaan kedua orang tuaku dengan lebih sederhana. "Acha harus ngertiin mereka," lanjutnya.

Terus yang ngertiin aku siapa? Tanyaku. Pertanyaan itu tak sampai di ujung lidah, hanya terpendam dalam kepala mungkilku saat itu.

...

"Terus gimana?" Baskara meraih snack ringan yang ia beli, dengan santai membukanya dan menawarkannya pada Asha. Asha sedang menunduk dan fokus pada kaleng di tangannya, langsung mengalihkan pandangannya pada Baskara.

"Ya gitu, keseharian aku selama di rumah yang sekarang cuma makan, belajar di ruang belajar, makan siang, belajar lagi, terus makan malem," Asha kembali menunduk menatap kaleng di tangannya. Ia mengoles lembut uap air yang ada di mulut keleng, ekspresi wajahnya begitu murung.

Gerimis. Mungkin karena hujan besar sebelumnya berubah menjadi gerimis, cerita Asha semakin terdengar menyedihkan di setiap bagiannya. Angin yang cukup besar tadi menjadi lebih sepoi, sedikit banyak membuat perasaan Asha membaik saat menghirupnya.

"Kamu gak main gitu?" Tanya Baskara dengan pernasaran dan gadis di hadapannya ini hanya menggeleng untuk pertanyaan itu. "Terus lanjutnya gimana?" Baskara bertanya lagi. Asha menghela napas, seolah mempertimbangkan untuk menceritakannya atau tidak.

Hening. Selain suara rintik hujan yang jatuh di atas atap gazebo, tak ada suara lain di antara mereka. Asha kembali menatap Baskara dan bercerita.

Bersambung...

Dissident : I Want Freedom!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang