2.4

32 11 11
                                    

-HAPPY READING
.
.
.
Declan, Joseph dan Mattheus menghentikan langkahnya, mereka bertiga duduk di bawah pohon besar dengan dedaunan yang rindang. Akar-akar yang menyembul hingga keluar dari tanah, itu mereka gunakan sebagai alas untuk duduk.

Mattheus beringsut, duduk mendekati Joseph, dia melirik luka di pipi Joseph, itu hampir mengeluarkan nanah. Pasti si manis ini kesakitan.

"Kak Jo, bukankah seharusnya kamu menutupi lukamu, itu tidak baik jika terkena udara, luka anda bisa mengalami infeksi," ucap Mattheus, dia menatap Joseph penuh khawatir.

"Tidak apa, Mattheus, ini pasti akan membaik," ucap Joseph, memberikan senyum tipisnya.

"Tapi itu akan lebih baik di tutup, kita mungkin bisa membuat obatnya dengan bahan herbal?" saran Mattheus, pandangannya beralih pada Declan, "bukankah kamu mengerti soal obat-obatan Herbal?"

Declan menatap sengit, "jangan gegabah, lebih baik kamu diam saja, Mattheus,"

"ITU MEREKA!" Seruan itu mengalihkan perhatian Declan, Joseph dan Mattheus. Tidak jauh di hadapan ketiganya, ada William, Wilson, Jonathan dan Vern. Ke empat pria itu berlari kecil, mereka menghampiri mereka bertiga dan bergabung untuk beristirahat sejenak.

"Kalian baik-baik saja?" tanya Wilson, menatap satu persatu dari tiga lainnya.

Anggukkan Wilson dapatkan sebagai jawaban, "kami baik," Declan yang menjawab.

"Kak Jo, kamu terluka!" Vern berseru, luka Joseph rupanya cukup dalam, luka yang di berikan oleh bunga es itu tidak main. Dan mereka yang tidak mendapat lukanya adalah sebuah keberuntungan.

"Apa bunga es itu mengenaimu?" tanya Jonathan dan Joseph mengangguk.

"Biar aku obati," ucap Jonathan. Oh, benar, dirinya bisa menyembuhkan!

"Terima kasih," ucap Joseph.

Meski lukanya hilang, namun itu memiliki bekas luka yang cukup mengerikan dan besar. Jonathan bilang, bekas lukanya tidak akan bisa di hilangkan, dan Joseph hanya bisa pasrah akan hal itu.

"Kita harus segera keluar dari Array ini," ucap William, "tapi untuk sekarang, mari kita temukan yang lain."

Diam-diam, Declan dan William saling pandang, seolah berucap melalui pandangan, keduanya saling menganggukkan kepalanya pelan.

"Kak Jo, ayo, aku akan membantumu," ucap Declan, dia lebih dulu berdiri, hendak membantu Joseph. Namun, Mattheus lebih dulu menahan pergerakan Declan.

"Biar aku saja," ujar Mattheus, mengabaikan tatapan sengit yang Declan tujukan padanya.

Namun pada saat itu, William tiba-tiba terjatuh dan meringis kesakitan. Tangan William tepat memegangi dadanya, seolah menahan rasa sakit yang berasal dari sana.

"Kak!" Vern berseru, dia terkejut melihat saudaranya yang tiba-tiba terjatuh dan kesakitan.

"Arrgghhh--!!" William memegangi bagian dadanya, terasa nyeri. Itu terjadi secara tiba-tiba. "Mattheus, bisakah kamu membantuku?"

"Aku?" Mattheus menunjuk dirinya sendiri, bingung akan ucapan William, "kenapa aku? Bukankah yang lain bisa membantumu, Kak Liam?"

"Itu benar, biar aku bantu," ucap Jonathan. Dia hendak membantu William, namun dengan mudahnya pria itu menepis tangan Jonathan.

"Aku meminta tolong pada Mattheus!"

Mendengar itu, Mattheus mendengus, "tapi aku tidak mau! Kenapa harus aku? Bukankah kak Wilson dan Vern bisa membantumu?"

"Karena saya ingin kamu, Mattheus, tidakkah kamu menyadari bahwa saya menyukaimu?!"

---

"Apakah kamu lelah?" tanya Declan, dia tepat berada di sisi Joseph, menjaga si manis dengan baik.

"Sedikit, tapi aku masih kuat untuk berjalan, Declan," entahlah, rasanya banyak sekali kupu-kupu di perutnya.

Wilson dan Vern yang berjalan berdampingan memperhatikan Joseph dan Declan, "bukankah mereka cocok?"

Vern menoleh, "hm? Kamu benar, kak Wilson, jika kak Jo dan Declan saling menyukai, apakah kak Jullian akan mengizinkan mereka untuk bersatu?"

Wilson terdiam, entahlah, dia tidak bisa menebak jalan pikir Jullian.

"Saya pikir akan," suara Jonathan tiba-tiba terdengar.

Namun pada saat itu, langkah mereka terhenti ketika sekelompok serigala menghadang langkah mereka.

***

"Kak Jullian, bisakah menggunakan telepati?" lagi, entah berapa puluh kali Shannon menanyakan hal yang sama.

"Bisakah berhenti bertanya?!" sarkas Mikael.

Shannon berdecak, entah berapa kali mereka memutari hutan ini, tapi masih belum menemukan teman sekelas yang lain. Entah sudah berapa lama mereka di dalam Array, karena suasana di sini tetap sama, suram, berkabut dan cukup dingin. Dan Shannon tidak begitu menyukai tempat seperti ini.

Jullian mengusap pundak Shannon, "kita pasti segera bertemu dengan mereka, tolong bersabarlah, Shannon, hanya sedikit lagi."

Shannon mendesah, dia hanya mengangguki perkataan Jullian. Rasanya, percuma saja jika dia banyak mengoceh, itu hanya menghabiskan tenaganya saja.

"Di sana! Di sana! Bukankah di depan itu pintu dimensinya?!" Samuel setengah berteriak, memandang ke arah Pintu Dimensi Array yang di penuhi tanaman rambat.
.
.
.
-TO BE CONTINUED

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 19 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SIBLINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang