12. Badai yang Tak Terhindarkan

2 0 0
                                    

Hari-hari berlalu dengan suasana yang semakin tegang di rumah Narumi. Meskipun ia berusaha menjalani kehidupannya dengan penuh perhatian sebagai istri dan ibu, konflik yang perlahan memburuk mulai memengaruhi semua orang di rumah. Nelvin semakin sering pulang larut malam, sementara Narumi mencoba menutupi kegelisahannya di depan Yuan dan Asya.

Namun, ketegangan itu tak lagi bisa disembunyikan.

Suatu malam, Nelvin pulang dalam keadaan lelah, dengan wajah murung yang semakin sering terlihat akhir-akhir ini. Narumi sudah menunggu di ruang tamu. Ia tahu bahwa ada hal yang perlu dibicarakan, tetapi tidak pernah menemukan momen yang tepat.

"Kita harus bicara, Nelvin," kata Narumi tanpa basa-basi.

Nelvin menghela napas panjang, lalu duduk di sofa. "Narumi, aku sedang tidak ingin ribut malam ini."

"Aku juga tidak ingin ribut," jawab Narumi dengan nada tegas. "Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Kamu menjauh, Nelvin. Anak-anak merasakannya. Aku merasakannya. Dan aku lelah berpura-pura semuanya baik-baik saja."

Nelvin terdiam, memandangi lantai dengan tatapan kosong.

"Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Aku butuh tahu semuanya, Nelvin," lanjut Narumi.

"Aku sudah bilang, ini hanya soal pekerjaan," jawab Nelvin akhirnya, tapi suaranya terdengar terlalu lemah untuk meyakinkan.

"Jangan berbohong, Nelvin," potong Narumi, emosinya mulai pecah. "Aku sudah mencoba memberimu ruang, aku sudah berusaha memahami, tapi kamu terus menyembunyikan sesuatu dariku. Jika kamu tidak bisa jujur, bagaimana kita bisa memperbaiki hubungan ini?"

Untuk pertama kalinya, Nelvin memandang Narumi dengan ekspresi penuh kelelahan. "Aku tidak tahu apakah hubungan ini masih bisa diperbaiki, Narumi. Aku merasa terjebak."

Kata-kata itu menghantam Narumi seperti pukulan keras. Air matanya mulai mengalir, meskipun ia mencoba menahannya. "Terjebak? Maksudmu apa?"

"Aku merasa aku tidak lagi menjadi diriku sendiri," jawab Nelvin, suaranya bergetar. "Aku tidak tahu bagaimana menjadi ayah yang baik, suami yang baik, atau bahkan diri sendiri. Aku merasa seperti gagal dalam segala hal."

Narumi terdiam, hatinya tercabik-cabik oleh pengakuan itu. Ia tidak tahu harus berkata apa.

.
.
.


Esok harinya, Narumi mencoba bertindak seperti biasa, tetapi pikirannya terus terjebak dalam percakapan malam sebelumnya. Nelvin berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya, meninggalkan Narumi dalam kebisuan yang menyakitkan.

Ketika Narumi menjemput Yuan dan Asya dari sekolah, Yuan tiba-tiba bertanya, "Mama, kenapa Papa sekarang jarang main sama kita?"

Pertanyaan itu membuat Narumi berhenti sejenak sebelum menjawab, "Papa sedang sibuk, sayang. Tapi Papa tetap sayang kalian."

Asya, yang biasanya diam, ikut bersuara, "Tapi kenapa Mama kelihatan sedih?"

Narumi hampir tidak mampu menjawab. Ia memaksakan senyum, meskipun hatinya terasa berat. "Mama hanya lelah, sayang. Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja."

Namun, dalam hatinya, ia tidak yakin dengan kata-katanya sendiri.

Konflik semakin memuncak ketika Narumi menerima telepon dari nomor tak dikenal saat sedang memasak. Awalnya ia ragu untuk mengangkat, tetapi akhirnya ia menekan tombol hijau.

"Bu Narumi?" suara seorang perempuan terdengar di ujung telepon.

"Ya, ini saya. Dengan siapa saya bicara?"

Future? or Dream?Where stories live. Discover now