Narumi tidak pernah membayangkan bahwa harinya akan seburuk ini. Awalnya, ia hanya ingin membawa bekal makan siang untuk Nelvin ke kantor—sebuah upaya kecil untuk mencairkan hubungan mereka yang kaku. Ia berharap ini bisa menjadi langkah awal untuk memperbaiki semuanya.
Namun, sesampainya di depan kantor Nelvin, hatinya terasa berat tanpa alasan yang jelas. Dengan tangan gemetar, ia berjalan menuju ruangan suaminya. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar tawa yang familiar dari balik pintu yang sedikit terbuka.
"Reissa, kamu benar-benar tahu cara membuat hari buruk jadi lebih baik," suara Nelvin terdengar ringan, jauh berbeda dari nada lelah dan dingin yang biasa ia dengar di rumah.
Narumi mematung. Ia mengintip melalui celah pintu. Di sana, Nelvin duduk santai di sofa kantornya, sementara Reissa, teman kantornya, duduk terlalu dekat. Cara mereka berbicara, cara Reissa meletakkan tangannya di lengan Nelvin—semuanya terlihat intim, lebih dari sekadar hubungan kerja.
"Jadi, kapan kamu akan memutuskan semuanya?" suara Reissa terdengar pelan, hampir seperti bisikan.
Narumi ingin berbalik, pergi, tapi kakinya terasa berat. Ia memilih tetap diam, meski hatinya terus berteriak.
"Aku... butuh waktu, Reissa. Ini rumit," jawab Nelvin dengan nada ragu.
Reissa tersenyum kecil, mendekatkan dirinya ke Nelvin. "Nelvin, kamu tahu aku ada di sini untukmu. Tapi aku juga tidak bisa terus menunggu."
Narumi tidak sanggup lagi. Ia membuka pintu dengan keras, membuat Nelvin dan Reissa terkejut.
"Aku rasa waktu yang kamu butuhkan sudah habis, Nelvin," suara Narumi terdengar dingin, meskipun dadanya sesak.
"Narumi! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan," Nelvin berdiri cepat, mencoba mendekati Narumi, tapi ia mundur selangkah.
"Tidak seperti yang aku pikirkan? Aku melihatnya dengan mataku sendiri, Nelvin! Apa lagi yang perlu dijelaskan?" seru Narumi, matanya berkaca-kaca.
Reissa tampak gugup, lalu berdiri. "Maaf, aku... aku akan pergi."
"Jangan repot-repot, Reissa. Sepertinya kalian sudah cukup nyaman tanpa aku," Narumi memotong, nadanya penuh sarkasme.
Setelah Reissa keluar dengan tergesa-gesa, Narumi menatap Nelvin dengan mata yang penuh kemarahan dan luka.
"Apa ini, Nelvin? Apa kamu benar-benar sudah tidak peduli pada aku dan anak-anak kita?" tanyanya, suaranya bergetar.
Nelvin menunduk, seolah tak mampu membalas tatapan Narumi. "Aku... aku tidak tahu harus bilang apa. Aku... merasa terjebak, Narumi. Hubungan kita sudah terlalu hancur, dan aku hanya mencari pelarian."
"Pelarian? Jadi, semua ini hanya pelarian bagimu?" Narumi tertawa getir. "Sementara aku di rumah, berjuang memperbaiki semuanya, kamu memilih mengkhianati aku dengan cara paling menyakitkan."
Nelvin mencoba mendekatinya lagi, tapi Narumi mengangkat tangannya. "Jangan dekati aku, Nelvin. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan ini."
Narumi berbalik dan pergi dengan air mata yang mengalir deras. Hatinya hancur, dan kali ini ia merasa bahwa jurang di antara mereka sudah terlalu lebar untuk diperbaiki.
.
.
.
Di rumah, Narumi duduk sendirian di ruang tamu. Foto-foto keluarganya terlihat seperti pengingat menyakitkan akan apa yang pernah ia miliki dan kini hampir hilang. Yuan dan Asya sudah tidur, tapi Narumi tahu bahwa keesokan harinya, ia harus memasang senyum palsu lagi untuk mereka.
![](https://img.wattpad.com/cover/380256121-288-k353380.jpg)
YOU ARE READING
Future? or Dream?
FantasyBagaimana jika kamu yang pada awalnya tidur di kelas malah terbangun di masa depan? Bingung bukan? Yaaa itu yang dirasakan oleh Narumi yang awalnya tidur di kelas tetapi malah bangun di tubuhnya yang sudah dewasa...