Bab 14 - Revisi

828 32 7
                                    

Bolak balik mengurus berkas pernikahan membuat banyak tenaga Sultan dan Shaima terkuras, ditambah pengurusan segala macam perintilan persiapan wisuda. Kerepotan dan kesibukannya tak sampai disana, Shaima juga harus mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan profesinya. Repot, sudah pasti.

Fisiknya tentu saja lelah, pikirannya juga tak karuan sementara Sultan juga akhir-akhir ini mulai sibuk pada pekerjaannya.

Shaima ingin mengeluh tapi semua sudah terjadi dan harus dia jalani, tapi entah kenapa hatinya semakin ragu pada seorang Sultan. Ragu akan niat baik pria itu. Dia takut semua ini hanya sementara dan Sultan hanya akan mempermainkan semuanya. Tapi dalam waktu bersamaan hatinya malah semakin menemukan kenyamanan pada pria itu, semua yang Sultan lakukan selalu membuatnya bersyukur.

Dengan langkah lesu dia berjalan menuju kamar kostnya, membuka pintunya malas dan hal pertama yang membuatnya kaget adalah pria yang baru saja dia pikirkan sudah berbaring di atas kasur kecilnya sambil menopang tangan di atas wajahnya, Shaima tidak tahu sejak kapan pria itu lancang menduplikat kunci kamar kostnya. Menoleh pada jam, pukul 14.17. Tumben pria itu sudah pulang kerja padahal biasanya super sibuk bahkan kadang tak sempat menemuinya karena pulang larut malam.

Tangannya ingin menyentuh pria itu tapi kemudian urung dilakukannya, takut Sultan terganggu dan akan membangunkannya. Menarik nafas pelan dan berniat bangkit untuk ke kamar mandi mengganti bajunya, tapi tangannya dicegat sehingga membuatnya tersentak untuk duduk kembali. Dia ingin mengomel, tapi kemudian menyadari sesuatu. Tangan yang menggenggam lengannya terasa begitu panas. Dengan cepat dia mengecek kening Sultan dengan punggung tangannya, sangat panas dan mukanya merah hingga ke telinga.

"Kakak sakit...sudah makan dan minum obat?" Gelengan kepala Sultan sebagai jawaban, dengan cepat Shaima ingin mengambil termometer dan obat di laci meja kecil samping kasurnya tapi tangannya terus digenggam Sultan sehingga gadis itu sulit untuk beranjak dari tempatnya.

"Disini saja..."

"Aku cuma mau ambil obat sebentar" Tak ada jawaban, Shaima kemudian membiarkannya sejenak seperti ini, tangannya terangkat untuk menyurai rambut Sultan dengan jemarinya untuk merapikannya pelan.

"Kenapa sakit sih, kak?" Bisiknya pelan membuat Sultan semakin menarik tangannya ke dada pria itu.

"Kak makan yah habis itu minum obat baru istirahat biar cepat sembuh, aku tadi beli nasi campur aku ambilin yah?" Shaima perlahan menarik tangannya yang digenggam lalu menyiapkan nasi campur yang dibelinya kemudian memindahkannya ke piring. Membantu Sultan untuk duduk dan menyuapi pria itu, dari wajahnya, Sultan terlihat menahan sakit kepala dan pusing.

"Kamu tidak makan?" Shaima menggeleng pelan sambil menyodorkan sendok ke mulut Sultan.

"Nanti saja habis kakak, kalau nggak habis aku makan sisanya kalau habis nanti aku makan mie ayam depan..." Sultan belum membuka mulut dan hanya menatap Shaima sehingga kepala gadis itu memberi kode pada Sultan agar membuka mulutnya cepat.

"Berdua saja..."

"Aku nanti saja, kan kakak yang sakit" Shaima tersenyum kecil walaupun sebenarnya perutnya juga sudah keroncongan.

"Memangnya kamu pikir orang sehat nggak perlu makan, terus kalau kamu sakit juga siapa yang akan rawat aku" Senyum yang tadi menghiasi bibir Shaima langsung pudar berubah menjadi wajah cemberut mendengar kalimat tak bersahabat Sultan. Pria itu memang ahli dalam membangkitkan emosinya, sebenarnya ada nada khawatir tapi dikemas dalam ucapan yang menyakitkan telinganya.

"Biarkan saja aku sakit kalau perlu mati saja sekalian ..." Sendok berisi makanan yang akan disuapkan pada Sultan ditaruhnya dengan kasar pada piring lalu menyerahkannya ke pangkuan pria itu, kemudian menyentak satu bantal di kepala Sultan yang dipakai bersandar di tembok sehingga Sultan meringis karena kepalanya terantuk tembok.

STORGE PRAGMA LOVE AS IMAN RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang