manipulate your feeling

229 29 2
                                        

Jgn percaya apapun

....
Harin menarik diri perlahan, matanya yang gelap menatap Sooji yang terlihat bingung, campuran antara ketakutan, kemarahan, dan keraguan bercampur menjadi satu. Senyuman Harin semakin lebar, bukan senyuman hangat, melainkan senyuman seorang predator yang baru saja menikmati permainan dengan mangsanya.

"Bagaimana rasanya, Sooji?" tanyanya, suaranya lembut namun penuh ejekan. "Ciuman dari seseorang yang kau hancurkan dulu. Rasanya seperti karma, bukan?"

Sooji tidak menjawab. Dia masih terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya gemetar, baik karena kemarahan maupun keterkejutan. Dia merasa seperti boneka yang dimainkan oleh Harin—ditarik dan dibuang sesuka hati.

"Aku benci kamu," gumam Sooji akhirnya, suaranya serak. Tapi matanya yang berkaca-kaca mengatakan hal lain. Ada ketakutan dan rasa bersalah di sana, sesuatu yang Harin nikmati sepenuhnya.

Harin mengangkat alisnya, lalu menelusuri wajah Sooji dengan jemarinya, begitu pelan seperti sedang menyentuh benda yang rapuh. "Aku tahu," bisiknya. "Tapi itu tidak penting. Kamu benci aku, atau kamu mencintaiku. Akhirnya, kamu tetap milikku."

Sooji menghempaskan tangan Harin dengan kasar. "Aku akan keluar dari ini. Aku akan menemukan cara untuk menghentikanmu."

Harin tertawa kecil, langkahnya mundur ke arah bayangan di sudut ruangan. "Silakan coba," katanya. "Tapi ingat, Sooji, setiap langkah yang kamu ambil untuk melawan aku, semakin dalam kamu terikat padaku. Kamu pikir kamu bebas, tapi kenyataannya aku yang memegang rantainya."

Sooji berusaha menstabilkan napasnya. Rasa takut yang merambat perlahan mulai bercampur dengan tekad. Harin benar—ini bukan hanya tentang Sooji. Ada jiwa-jiwa lain yang sudah Harin ambil. Jiwa-jiwa putus asa seperti dirinya dulu. Dia tidak bisa membiarkan Harin terus bermain-main dengan kehidupan orang lain.

Hari-hari berlalu, dan Sooji mencoba bertahan dalam kehidupannya sebagai idol baru. Setiap panggung adalah medan perang, bukan hanya melawan rasa gugup, tetapi juga melawan kehadiran Harin yang terus menghantui. Dia sering melihat Harin di antara kerumunan, tersenyum penuh ejekan seolah-olah dia adalah satu-satunya yang tahu rahasia Sooji.

Namun, perlahan, ada sesuatu yang berubah. Sooji mulai memperhatikan bahwa Harin, meskipun kejam, tidak pernah benar-benar menyakitinya secara fisik. Ancaman dan manipulasi emosinya memang menghancurkan, tetapi di balik semuanya, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih... lembut? Atau mungkin hanya bayangan perasaan yang pernah mereka miliki di masa lalu?

Di malam yang gelap, Sooji kembali ke jembatan tempat semuanya dimulai. Angin dingin meniup rambutnya, dan dia tahu Harin akan segera muncul. Benar saja, beberapa detik kemudian, Harin berdiri di sana, siluetnya memotong kegelapan malam.

"Kamu tahu, aku lelah, Harin," kata Sooji, menatap ke arah air di bawah mereka. "Aku lelah terus-terusan menjadi bonekamu."

Harin mendekat, tetapi kali ini tanpa ejekan di wajahnya. "Aku tidak pernah memaksamu menjadi boneka, Sooji. Kamu yang memilih. Kamu yang menandatangani perjanjian itu."

"Tapi apa pilihan yang aku punya?" balas Sooji, air mata mulai menggenang di matanya. "Kamu tahu aku putus asa. Kamu tahu aku tidak punya apa-apa."

Harin terdiam. Untuk pertama kalinya, Sooji melihat sesuatu di mata Harin yang berbeda—seberkas kesedihan, mungkin rasa bersalah yang samar.

"Sooji," kata Harin perlahan, suaranya lebih lembut dari biasanya. "Aku tidak pernah ingin kita berakhir seperti ini. Tapi kamu harus tahu, rasa sakitku lebih dalam daripada yang bisa kamu bayangkan."

Sooji menatap Harin, dan untuk pertama kalinya, dia melihat bukan hanya seorang monster, tetapi juga seseorang yang terluka. Seseorang yang terperangkap dalam lingkaran balas dendam yang tak berujung.

"Apa yang kamu inginkan dariku, Harin?" tanya Sooji, suaranya hampir seperti bisikan. "Apa yang akan membuat ini semua berakhir?"

Harin tersenyum kecil, tetapi kali ini tidak ada ejekan di sana. "Aku ingin kamu mencintaiku lagi, Sooji. Tapi kali ini, tanpa pengkhianatan. Tanpa kebohongan."

Hening menyelimuti mereka, hanya suara angin yang terdengar. Sooji tahu jawabannya tidak akan mudah, dan jalannya penuh duri. Tetapi jika ada cara untuk mengakhiri siklus ini, mungkin, hanya mungkin, dia harus menghadapi perasaannya sendiri.



Suatu malam, di apartemen yang seharusnya menjadi tempat istirahatnya, Sooji merasakan sentuhan hangat di bahunya. Dia terbangun, tubuhnya tegang, dan menemukan Harin duduk di pinggir tempat tidurnya. Wajah Harin lembut, senyuman kecil terlukis di sana.

"Kamu terlihat sangat lelah, sayang," bisik Harin sambil mengusap rambut Sooji. Sentuhan itu lembut, hampir membuat Sooji merasa aman, meskipun nalurinya menjerit sebaliknya.

"Harin, apa yang kamu mau?" Sooji berusaha terdengar tegar, tetapi suaranya lemah, seperti lilin yang hampir padam.

Harin tertawa kecil, suara yang seharusnya menenangkan, tetapi justru membuat bulu kuduk Sooji berdiri. "Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Kamu tahu aku hanya peduli padamu, bukan?"

Sooji memalingkan wajahnya, mencoba menjauh dari Harin, tetapi tangan Harin menahan dagunya, memaksa mereka untuk bertatapan. "Jangan berpaling dariku, Sooji. Aku di sini untuk kamu."

Kata-katanya manis, tetapi Sooji merasakan ada sesuatu yang gelap di baliknya. Harin melingkarkan lengannya di pinggang Sooji, menariknya ke dalam pelukan. Bibirnya menyentuh pelipis Sooji, gerakan yang begitu lembut, hampir seperti janji perlindungan.

"Kamu berharga untukku," bisik Harin di telinganya. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Tapi kamu tahu kan, Sooji, aku tidak suka kalau kamu mencoba melawan. Itu menyakitkan untukku."

Sooji mengangguk lemah, tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari dirinya ingin percaya pada kelembutan Harin, ingin menyerah pada pelukan yang terasa hangat ini. Tetapi di sudut hatinya, dia tahu bahwa setiap kata Harin adalah perangkap.

Hari-hari Sooji berlalu dalam kelelahan yang semakin dalam. Harin ada di mana-mana—di mimpinya, di pikirannya, bahkan di setiap sudut panggung yang seharusnya menjadi tempat kebebasannya. Harin selalu muncul setelah jadwal padat, dengan senyum penuh simpati.

"Kamu bekerja terlalu keras, Sooji," kata Harin suatu malam, menyerahkan secangkir teh hangat ke tangan Sooji. "Aku khawatir kamu akan jatuh sakit."

Sooji meminum teh itu, tanpa memedulikan rasa pahit yang menggelitik tenggorokannya. Dia merasa begitu lelah, bukan hanya secara fisik tetapi juga emosional. "Aku... aku hanya ingin ini selesai, Harin. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan."

Harin menggeleng, jemarinya menyentuh pipi Sooji dengan lembut. "Jangan berkata begitu, sayang. Kamu kuat. Kamu punya aku."

"Tapi aku tidak tahu apa yang aku perjuangkan lagi," bisik Sooji, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku ingin menyerah, tapi aku bahkan tidak tahu caranya."

Harin tersenyum, wajahnya mendekat hingga hanya beberapa inci dari Sooji. "Kamu tidak perlu menyerah, Sooji. Cukup ikuti aku. Aku akan menjaga kamu. Aku akan memastikan kamu tidak perlu berpikir lagi. Bukankah itu terdengar indah?"

Kata-kata Harin seharusnya menenangkan, tetapi justru terasa seperti rantai yang semakin erat melilit hati Sooji. Harin selalu tahu kapan harus menjadi lembut, kapan harus mengucapkan janji-janji yang manis, dan kapan harus menarik tali kendali yang membuat Sooji tetap di bawah kekuasaannya.

Di suatu malam lainnya, Harin mencium Sooji dengan lembut, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sooji bisa merasakan dominasi Harin yang menguasai setiap inci dirinya. Setelahnya, Harin membisikkan sesuatu yang membuat Sooji semakin tenggelam dalam jurang keputusasaan.

"Kamu tahu, Sooji," kata Harin dengan nada penuh kasih, "kamu tidak akan pernah bebas dariku. Dan sebenarnya, kamu tidak benar-benar ingin bebas, kan? Lihat saja dirimu, kamu selalu kembali padaku, tidak peduli seberapa keras kamu mencoba melawan."

Sooji menangis dalam diam, tangannya mengepal erat di atas lututnya. Dia ingin berteriak, ingin melarikan diri, tetapi tubuhnya terasa terlalu berat. Harin melingkarkan lengannya di bahu Sooji, mencium keningnya dengan lembut.

"Tidak apa-apa, sayang," bisik Harin. "Aku akan tetap di sini, meskipun kamu membenciku."

Dan dengan itu, Harin menambahkan lapisan lain pada rantai tak kasat mata yang semakin mencekik Sooji.

Devil's TortureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang