Bukan Salon Biasa

2.6K 107 7
                                    

Salon itu terletak di sebuah perumahan menengah di bagian barat kota Surabaya. Kota yang ramai dengan banyak aktifitas manusia yang bermukim di dalamnya. Kota ini semakin lama semakin cantik dengan banyak taman-taman yang diperuntukkan bagi penghuni kota. Kerja yang baik dari pimpinan kota yang baik pula. Dialah seorang perempuan dengan tangan penuh sentuhan keibuan yang menata setiap sudut kota. Dengan pembagian sesuai arah mata angin maka kota inipun dibagi atas beberapa wilayah. Ada Barat, Timur, Utara, Selatan, dan ada wilayah Pusat. Namun dimana batasnya, tidak ada garis yang pasti. Hanya ada beberapa pembagian kecamatan yang dimasukkan sesuai pembagian wilayah tadi.

Bagian Barat kota dipenuhi oleh sesaknya perumahan yang setiap tahun bertumbuh semakin banyak. Padahal jalan kota tidak bertumbuh. Sedangkan, setiap penghuni rumah setidaknya punya dua jenis kendaraan bermotor. Bisa keduanya berupa mobil atau satu mobil dan satu motor. Sesaknya perumahan di satu sisi menjadi ladang baru bagi orang-orang yang mau berusaha. Entah itu usaha penjualan makanan yang semakin menjamur dari kelas rombong, warung kopi hingga kelas menengah ke atas berupa resto ber-AC atau usaha lainnya yang juga ikut bertumbuh dengan pesatnya. Ada minimarket, ada bengkel, ada rumah sakit, tempat kursus bahasa maupun komputer, dan salon. Untuk salon tentu berjenjang pula tingkatannya. Dari tukang pangkas rambut biasa yang berkeliling dengan sepeda, pangkas rambut yang menetap yang biasanya dihiasi poster berwajah Andy Lau hingga salon kelas menengah ke atas seperti Imel's Salon.

Imung adalah satu dari sekian banyak orang yang mencoba peruntungan di bidang tata rambut. Selagi rambut masih terus bertumbuh maka penataan rambut tetap akan menjadi kebutuhan. Begitu pikirnya waktu akan membuka salon ini. Bagi Imung, bukan suatu kebetulan dirinya tertarik menekuni bidang salon ini. Dia merasa bidang ini sangat pas dengan kepribadiannya. Imung adalah seorang lelaki yang feminin. Orang bilang dia banci. Tapi Imung tak pernah marah disebut banci. Biarlah eike disebut banci asal tetap bisa berguna di masyarakat, begitu ucapan Imung kalau ada lelaki atau perempuan langganan salonnya yang bertanya soal sikap kebanci-banciannya.

Gaya Imung yang cenderung luwes didukung oleh gerak tubuh yang luwes pula telah menjadi penderitaan tersendiri baginya di bangku sekolah. Dari sekolah dasar sifat itu sudah terlihat. Imung lebih senang bermain bersama anak perempuan ketimbang anak laki-laki. Imung lebih banyak beraktifitas di bidang seni tari ketimbang menekuni olahraga basket atau sepak bola yang biasa digemari oleh anak laki-laki seusianya. Menjadi bahan ledekan teman-teman tidak membuat Imung berkecil hati. Di rumah, ibunya selalu memperlalukan Imung dengan baik layaknya seorang anak laki-laki. Imung tak pernah dimarahi ibunya karena sikapnya yang lemah lembut. Di depan Imung ibunya selalu berusaha memperlakukan Imung sebiasa mungkin. Imung sudah seperti teman bagi ibunya. Teman bercerita, berbagi keluh kesah tentang kehidupan mereka sehari-hari.

Mereka hanya tinggal berdua. Hanya Imung dan ibunya. Jenarti Selaras, yang berusaha keras agar anaknya bisa terus sekolah walau ditinggal pergi oleh suaminya. Ditinggal pergi sejak Imung berusia tiga tahun. Awalnya ayah Imung hanya ingin mencoba peruntungan di Jakarta. Mencoba meraih nasib yang lebih baik atas tawaran seorang teman. Memang nasib ayahnya berubah cepat. Usahanya di Jakarta semakin baik. Sayang, godaan di Jakarta juga banyak. Ayah Imung berpaling. Lupa akan keluarga di Surabaya. Lupa Imung. Lupa pula pada Jenarti, istrinya. Imung kecil tak tahu apa yang terjadi saat itu. Dengan kondisi tersebut Jenarti tetap tak berkehendak menyusul suaminya ke Jakarta. Baginya sulit untuk mencari yang tak pasti sementara Imung masih kecil. Tak mau Jenarti mengambil resiko membawa-bawa anak satu-satunya itu untuk mencari ayahnya yang tak jelas alamatnya di Jakarta. Mungkin baik juga kalau bertemu, bagaimana kalau tidak? Terus kalaupun bertemu, apa yang harus dia katakan? Membujuk suaminya pulang? Kalau dia tidak mau bagaimana? Siapa yang akan membiayai hidupnya di Jakarta selama proses pencarian itu? Jenarti hanya menangis sendiri setiap ingat peristiwa itu. Tak sadar dirinya, bahwa ketika menangis ada sepasang mata kecil yang memperhatikannya. Mata anak lelaki satu-satunya. Sepasang mata bulat namun sayu milik Imung putranya. Hal itu masih terus berlangsung hingga Imung masuk sekolah dasar bahkan hingga tamat kelas sembilan. Mungkin hal itulah yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kejiwaan Imung. Yang membuatnya menjadi lelaki yang lemah-lembut sampai akhirnya menjurus kebanci-bancian.

Bukan Banci BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang