Bunaken Lekong Tulen

305 28 0
                                    

Jarak antara tengah kota dimana kursus komputer yang diikuti Sandra dengan kompleks dimana Imel's Salon berada cukup jauh. Perlu dua kali naik angkutan umum dengan berganting angkutan di terminal Joyoboyo. Bagi kebanyakan orang, hal ini dianggap buang-buang waktu. Makanya jumlah motor di Surabaya semakin hari semakin meningkat. Belum ada transportasi masal yang benar-benar baik dan dapat diandalkan.

Sandra bukan bagian dari pengendara motor itu. dia adalah bagian dari pengguna setia angkutan umum yang rela berganti mobil angkutan umum di terminal, rela menunggu hingga mobil itu penuh sambil diiringi oleh nyanyian berbagai pengamen yang silih berganti hingga akhirnya mobil angkutan itu penuh dengan formasi tujuh lima atau enam empat tergantung besar mobilnya.

Sore itu hampir sama dengan hari-hari lainnya. Sandra masih menunggu di sebuah angkot yang baru terisi oleh tiga orang penumpang. Sepertinya masih akan lama angkot ini berjalan. Masih harus menunggu sembilan atau sepuluh orang lagi. Kalau mau gampang sebenarnya bisa saja memilih untuk naik ojek yang juga beroperasi di terminal itu. Tapi harga yang dibayarkan jauh lebih mahal dari ongkos sebuah angkot. Bisa membengkak hingga tiga sampai empat kali lipat. Artinya, jika membayar ongkos angkot tiga ribu rupiah, ongkos ojek bisa sekitar sepuluh hingga lima belas ribu rupiah.

Seorang pengamen baru saja menyelesaikan lagu kelimanya. Satu penumpang lagi masuk. Duduk di bagian paling belakang dekat jendela. Sandra berusaha mencari uang receh di dompetnya. Diberikannya dua keping lima ratusan ke si pengamen. Dan begitu selesai, pengamen lain pun datang.

Sandra duduk termenung sambil menunggu penumpang dalam angkot itu penuh. Tiba-tiba dia teringat akan sosok Imung. Teringat tentang peristiwa di tempat pembuangan sampah tempo hari saat dirinya menyelamatkan Imung dari seseorang yang berniat membunuhnya. Ada sesuatu tentang diri Imung yang membuat Sandra penasaran. Ingin dia mengenal Imung lebih jauh tapi sepertinya sulit bagi Imung untuk memulai. Laki-laki itu seperti tak percaya diri mendekatinya.

Selama ini mereka hanya menghabiskan waktu untuk bicara-bicara berdua. Memang, Sandra mengakui kalau Imung adalah orang yang enak diajak ngobrol. Semua serba nyambung dari sisi topik pembicaraan hingga bahasa-bahasa tubuh yang mereka gunakan.

Mey sepertinya juga menangkap ada sinyal-sinyal "sesuatu" antara Sandra dan Imung. Dan kalau keduanya sudah berada satu ruangan maka Mey memilih untuk pergi diam-diam. Entah pura-pura sibuk atau langsung masuk ke kamarnya.

Apakah Imung tak berani berterus terang padanya karena dia mengaku lupa ingatan? Sandra mencoba menerka-nerka berbagai kemungkinan. Ah, sudahlah biar saja berjalan seiring waktu, pikirnya lagi. Angkot itu ternyata sudah penuh dan pelan-pelan bergerak meninggalkan lokasi terminal.

***

Sejak tugas terakhir menyingkirkan Rajiman belum ada tugas baru untuk Imung. Imung sangat menikmati hari-hari liburnya sebagai agent. Dengan semakin hari semakin akrab ke Sandra, kadang memunculkan hasrat Imung untuk kembali bersikap seperti lelaki tulen, dirinya sering curhat dengan Sandra, dia merasa cucok dalam banyak hal dengan Sandra.

Secara fisik, aku tak terlalu buruk. Dan, Imung mengawasi bayangan dirinya di kaca di depan meja rias salon itu. Dia bertemu dengan mata yang lunak, dan profil yang lunak pula. Dagunya tidak sekasar dagu lelaki-lelaki pada umumnya. Malahan terlalu halus. Maka dia ingat waktu kecil dulu. Kerap sekali dia diganggu teman-temannya hanya karena kehalusan wajah dan tubuhnya. Oleh karena itu dia kerap mendapat masalah, dan sering dikucilkan oleh teman-temannya. Mey hanya senyam-senyum melihat bosnya yang mematut-matut diri di depan cermin.

"Cuss deh Cin....nanti diana keburu disombrero orang..." Mey menyarankan Imung untuk terus terang pada Sandra.

"Huss...krejong sana nekk...mau tau ajah..." Imung terkejut. Disuruhnya Mey kembali bekerja.

Sekarang, Imung tidak dikucilkan oleh siapa pun. Tetapi, realita kehidupanlah yang dihadapinya dari hari ke hari. Tiap orang tetap mengenal dia sebagai seorang pekerja salon sekaligus pemiliknya. Dan tingkah polahnya yang halus dan lembut membuat orang langsung berasumsi kalau dia banci. Dan Imung tak pernah marah. Dia senang dengan predikat banci. Walau mungkin saja orang-orang yang menilainya sebagai banci itu telah suudzon dengan dirinya.

Suudzon sendiri dasar katanya adalah "zhan" yang artinya prasangka, sementara suudzon artinya berburuk sangka alias negative thinking. Lawan kata suudzon adalah husnudzon yang berarti berbaik sangka alias positive thinking. Dan ternyata kata suudzon berasal dari bahasa Arab yang ejaan aslinya su'udzon.

Suudzon biasanya digunakan untuk mengatakan orang yang berburuk sangka terhadap sesuatu atau orang lain. Jadi ketika ada seseorang yang berburuk sangka pada orang lain seseorang akan menimpalinya dengan perkataan "Please...jangan suudzon".

Tapi biarlah, suudzon atau tidak, tak pernah dipikirkan oleh Imung, memang pada kenyataannya tak pernah dia berhubungan serius dengan mahluk bernama perempuan. Untungnya tak pernah pula dia membina hubungan dengan laki-laki.

Pintu pagar terbuka. Bukan pelanggan yang datang di sore hari itu. Sandra yang baru pulang dari kursus komputer dan langsung masuk ke ruang depan itu membuat Imung tiba-tiba salah tingkah.

"Saya pulang..." kata Sandra. Ditatapnya Imung yang langsung gelagapan pura-pura sibuk.

"Eh.. iya.. masuk cin eh San..." Imung gugup.

"Cinta nih ye..." Mey kembali mengganggu. Rinrin yang melihat ulah Imung dan Mey hanya tersenyum saja. Tangannya sibuk menata berbagai perlengkapan di meja rias. Seorang pelanggan masih diproses pewarnaan rambutnya oleh Rinrin.

Setelah pelanggan terakhir, salon pun sepi. Imung dan ketiga rekannya hanya duduk menonton televisi. Pukul lima sore Rinrin pamit pulang. Tinggallah Imung dan Sandra serta Mey. Situasi yang tadinya ramai mendadak jadi hening. Mey tahu diri, dia segera memisahkan diri menuju dapur.

"Bikeun pisgor ahh..." Mey berteriak lantang memecah kesunyian.

"Boleh tuh mbak...lumayan pas lapar-lapar gini.." Sandra menyambut antusias. "Tak bantu tha mbak Mey?"

"Ndak usah, duduk manis temani bosku yang lagi galau itu aja mbak Sandra.." Mey berseloroh sambil menatap Imung. Yang ditatap malah melotot ke arah Mey.

"Iihhh syeremmm...." Mey beranjak ke dapur.

Suasana hening kembali berlanjut. Tak ada sepatah katapun terucap oleh Imung. Demikian juga Sandra. Keduanya tampak larut oleh lamunan masing-masing.

Sebalnya, pikir Imung. Coba eik laki-laki sejati... pasti dah langsung eik sambar nih Sandra, pikir Imung. Dadanya berdegup kencang. Sebuah kalimat terngiang-ngiang di telinganya, bunaken lekong tulen ...bunaken lekong tulen! Kalimat yang membuatnya tetap duduk diam.

Bukan Banci BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang