Ngantuka Tunggal Ika

313 28 0
                                    

Antrian ibu-ibu itu masih panjang, sambil mengisi waktu menunggu didandani mereka mengerjakan hal yang biasa dikerjakan oleh ibu-ibu, bergosip ria. Salon Imung memang bukan satu-satunya salon di kompleks itu, namun berkat pelayanan yang baik dan bersahabat baik dari sisi interaksi dan harga, maka seolah-olah salon itu menjadi pilihan utama. Imel's Salon tumbuh menjadi salon yang dipercaya para pelanggannya.

Imung dan Rinrin bergerak cepat. Baru kali ini Rinrin bisa datang sangat pagi. Itu karena sudah dipesan Imung jauh hari sebelumnya. Tak mungkin Imung bisa menangani dua puluhan ibu-ibu sendirian. Mau tak mau Rinrin dipesannya untuk datang. Kursi-kursi salon tak ada yang kosong. Bahkan kursi untuk menunggupun dipakai untuk mempersingkat waktu. Mey juga sibuk. Waktu itu masih jam setengah lima pagi, sebagian besar ibu-ibu datang dalam keadan belum mencuci rambutnya. Baru kali itu Mey benar-benar sibuk. Tapi bukan Mey namanya kalau bekerja tidak sambil ngomong. Mulutnya tetap saja nyerocos tentang ini itu yag semakin menambah ramai suasana pagi itu. Mau tak mau Sandra harus mengambil alih sementara pekerjaan di dapur. Menyiapkan sarapan untuk rekan-rekannya.

"Yang itu di blow up dulu Cin...baru nanti ambil sanggul yang agak kecil saja biar cocok sama wajah diana.." Imung memberi sedikit petunjuk pada Rinrin. Sebenarnya tidak terlalu perlu. Rinrin pasti sudah tahu apa yang cocok untuk si pelanggan. Hanya Imung memastikan saja kalau Rinrin tetap fokus dalam situasi yang menbutuhkan penanganan serba cepat ini. Si pelanggan yang jadi topik pembicaraan tersenyum senang. Semakin yakin kalau dia berada pada tangan yang tepat sehingga dandanannya nanti dijamin tak akan berantakan.

"Sip mas... nanti tak pasang maneh.." Rinrin menjawab. Imung mengangguk-angguk. Bagi Imung kehadiran Rinrin di salonnya menjadi nilai tambah tersendiri. Keahlian Rinrin sangat berguna dalam banyak hal termasuk dalam beberapa hal yang memang Imung sendiri tidak menguasai betul. Tentang hair spa misalnya. Namun seiring dengan berjalannya waktu Imung pun perlahan tapi pasti mulai menguasai beberapa keterampilan yang dimiliki Rinrin.

Imung masih ingat ketika pertama kali mendirikan salonnya. Hanya Mey karyawan yang dimilikinya waktu itu. Mey direkomendasikan oleh Jenarti, ibu Imung. Katanya, Mey adalah anak saudara jauh dari Jenarti. Jadi sebenarnya masih ada hubungan saudara antara Imung dan Mey. Namun kalau diminta menjelaskan, Imung tak tahu harus merunut dari mana garis persaudaraan itu. Demikian pula dengan Mey, dia lebih tak tahu menahu tentang persaudaraan itu.

Entah darimana suatu hari datanglah Rinrin. Dengan percaya diri ingin dipekerjakan di salon milik Imung itu. Waktu itu antrian pelanggan cukup banyak sementara Imung hanya sendirian. Tanpa bermaksud lancang, Rinrin langsung menunjukkan keterampilannya. Imung membiarkannya waktu itu. Sekalian uji coba, mungkin begitu pikiran Imung saat itu. Dan hasilnya sangat tidak mengecewakan. Pelanggan yang ditangani Rinrin takjub dengan penampilan barunya. Selain ahli dalam tata rambut, Rinrin juga ternyata ahli dalam tata rias wajah. Dengan modal make up standar, hasilnya bisa sangat memukau. Make up kelas dunia, demikian Mey menyebutnya waktu itu. Entah dari mana istilah itu didapat Mey, yang jelas saat itu keduanya setuju kalau Rinrin memang layak bergabung di salon itu. Sangat layak malah!

"Mas Imung, sambil ngopi biar nggak ngantuk ya..." Sandra tiba-tiba menyapa Imung. Sempat Sandra agak bingung sebentar menacari tempat untuk menaruh kopi itu.

"Taruh di sini aja say...eh San..." Imung selalu berusaha menahan diri dari kosa kata banci jika bicara dengan Sandra. Sayang hasil akhirnya tak selalu pas. Masih ada beberapa kata yang sempat terucap seperti "say' dan "cin" yang sangat sering digunakan sehari-hari. Kalau Imung sudah salah tingkah begitu, Mey mulai mengganggu dengan tawanya yang terpingkal-pingkal. Suasana salon makin ramai ketika sindiran-sindiran Mey malah disambung lagi oleh ibu-ibu yang masih antri untuk ditangani.

"Lha...banci bisa jatuh cinta juga tha mas Imel..."

"Huss...mas Imel diam-diam masih tulen tuh..."

Bukan Banci BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang