Hidup Untuk Mengabdi

1K 73 1
                                    

Pancanaka adalah nama lembaga intelijen itu. Nama itu diambil dari nama senjata yang dimiliki oleh Bima. Bima adalah salah satu dari lima Pandawa, yang lahir dari pasangan Pandu dengan Dewi Kunti. Postur tubuhnya hampir dua kali tinggi dan besar rata-rata bangsa manusia. Matanya tajam, berkumis, dan berjenggot tebal. Pancanaka adalah keistimewaan yang dibawa Bima sejak lahir. Bentuknya berupa sebuah tulang menonjol keluar di antara pangkal ibu jari dan telunjuknya, yang begitu tajam, kuat, dan keras. Dalam kondisi biasa, tulang itu bisa masuk terlipat di antara ruas jari, namun saat sedang siaga, tulang itu segera menonjol keluar. Panjangnya bisa sampai sepanjang lengan orang dewasa.

Pancanaka hanya mempunyai lima orang agen rahasia yang masing-masing tidak saling mengenal satu dengan yang lain. Ketika ada satu yang gugur dalam tugas, maka seorang agen baru direkrut menjadi penggantinya. Proses rekrutnya sangat ketat dan seringkali mengakibatkan regangnya banyak nyawa. Proses itu telah dilewati Imung sebelumnya. Proses yang menyedihkan bagi Imung karena saat itu dia harus kehilangan beberapa sahabatnya dalam kamp pelatihan.

Imung bukan Bima. Dia juga tak tahu kenapa Pancanaka tertarik pada dirinya. Walau Imung juga pendiam seperti Bima tapi postur tubuhnya sangat bertolak belakang dengan Bima. Imung berpostur kecil, ringkih, walau tubuhnya sangat padat karena olah tubuh lewat beladiri yang dikuasainya.

Imung melipat surat pengantar itu. Hasil enkripsinya dia sobek kecil-kecil dan dibuangnya ke dalam toilet kamar mandi. Karton yang membentuk box tadi dia lepas dengan telaten hingga berbentuk lembaran. Disatukannya surat pengantar tadi bersama karton itu, kemudian Imung naik ke atas tempat tidur, berusaha menggapai salah satu petak plafon. Rupanya petak plafon itu bisa didorong. Dengan lincah Imung menempatkan kedua tangannya di masing-masing sisi plafon itu dan kemudian mengangkat tubuhnya. Tak berapa lama Imung sudah dalam posisi berlutut dalam redup remang ruang di atas plafon kamarnya. Gerakan itu dilakukannya dengan cepat. Nyaris tanpa suara. Surat pengantar dan karton yang tadi dijepit di lehernya dilipatnya menjadi lebih kecil. Di ruang atas plafon itu rupanya ada sebuah kotak kayu. Ukurannya sekitar 40 senti kali 30 senti dengan tinggi sekitar dua puluh lima sentimeter. Kotak itu terlihat sudah berumur cukup lama. Perlahan dibuka Imung kotak itu. Imung rupanya cukup sentimental. Semua berkas surat perintah atau lembar informasi dari Pancanaka disimpannya dalam kotak itu, tentu saja masih dalam bentuk aslinya. Semua hasil enkripsi pesan tentunya sudah dibuang Imung jauh-jauh.

Bagi Imung semua itu adalah memorabilia. Sesuatu yang akan mengingatkannya untuk tetap menekuni tugas ini. Bahwa dia tidak salah. Bahwa semua ini dia lakukan demi negaranya tercinta. Orang-orang jahat harus disingkirkan dan dalam beberapa hal aparat hukum yang lain sangat terbatas pergerakannya. Belum lagi adanya sorotan media yang memantau aparat hukum untuk tidak bertindak seenaknya. Makanya ada Pancanaka. Melakukan tugas-tugas yang tak resmi ada tapi untuk kebaikan bangsa. Itu yang Imung tahu. Itu yang Imung lakukan selama tiga tahun terakhir ini. Melumpuhkan orang-orang jahat. Melumpuhkan dalam bahasa Pancanaka: matikan!

Imung teringat kala pertama dia diminta bergabung di Pancanaka. Waktu itu dia masih semester dua di jurusan pariwisata. Di jurusan itu Imung hanya lelaki sendiri, yang lainnya perempuan. Sembilan belas berbanding satu membuat Imung terlihat menonjol di antara para mahasiswi pariwisata lainnya. Kadang menjadi ledekan juga. Maklumlah, kampus itu juga punya banyak jurusan lainnya. Jurusan pariwisata terletak persis di sebelah Fakultas Hukum. Kalau mau pulang lewat jalan pintas menuju halte bis kota, mau tak mau harus melintas di gang belakang fakultas hukum ini. Demikian pula Imung yang tak begitu berada posisi keuangannya saat itu. Bis kota adalah pilihan utama.

Ketika lewat di gang belakang fakultas hukum itulah pengalaman tak menyenangkan itu sering terjadi. Imung awalnya hanya sering dicaci-maki saja saat melintas bersama dua tiga orang teman mahasiswinya. Namun lama kelamaan caci-maki mulai dirasa tak cukup. Satu dua sambitan batu mulai terasa mengganggu. Imung tetap tak ambil pusing. Hanya sialnya, ketika pulang tak ada lagi yang mau berjalan bersamanya. Gadis-gadis itu jadi takut berjalan dengan Imung. Takut terkena lemparan batu. Imung tak berkeberatan. Hubungannya tetap baik dengan teman-teman kuliahnya sesama anak bis itu, sampai suatu hari peristiwa naas menimpanya.

Bukan Banci BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang