Lu Lagi Lu Lagi

316 28 1
                                    

Malam itu Imung tak bisa melanjutkan tidurnya. Dia harus bersiap-siap menyambut sang penciduk. Imung bergegas berjalan ke kamarnya. Mengambil beberapa perlengkapan dan memasukkannya ke dalam jaket. Mungkin agent itu sedang mengamati rumahnya saat ini, pikir Imung. Ada baiknya untuk mengalihkannya ke tempat lain dan tidak di rumah ini, lanjut Imung berpikir. Apa yang akan terjadi pada Mey dan Sandra kalau agent itu tiba-tiba menyerang? Tidak bisa! Pikir Imung. Sebaiknya eik keluar sekarang juga. Mudah-mudahan si penciduk akan mengikuti eik, lanjut Imung berpikir.

Pukul sebelas malam belum ada tanda-tanda Mey dan Sandra akan tidur. Keduanya tampak masih serius menonton sebuah film layar lebar yang katanya baru pertama kali diputar di layar kaca. Film itu cukup lucu. Berkisah tentang seseorang yang diberikan seribu kata hingga akhir hidupnya. Sebuah pohon tiba-tiba tumbuh di halaman dan tiap kali ada satu kata yang terucap maka satu helai daun akan gugur. Demikian seterusnya hingga saat semua daun gugur maka saat itu pulalah hidupnya akan berakhir. Diperankan dengan baik oleh Eddie Murphy aktor kawakan yang sebenarnya sangat digemari Imung. Namun tak bisa ditontonnya film itu bersama Sandra dan Mey. Ada urusan yang lebih penting yang harus dia kerjakan. Menghindar dari proses pencidukan sejauh mungkin dari rumahnya. Sejauh mungkin dari salon kesayangannya.

"Mau kemandose cin?" Mey kepingin tahu.

"Jali-jali say... keliling kompleks nek..." sahut Imung tak mau berlama-lama.

"Youndrang nek..." Mey menjawab tanpa melihat. Hanya Sandra yang ingin tahu lebih.

"Mau ditemani Mas Imung?" tawaran Sandra mengejutkan Imung. Apa karena eik banci, maka Sandra menawarkan diri untuk menemani eik jalan-jalan? Pikir Imung sesaat. Sejak peristiwa ditemukannya Sandra, memang Imung sangat ingin meluangkan waktu bersama perempuan itu. Ingin tahu siapa sebenarnya Sandra. Ingin membantu Sandra meraih kembali ingatannya yang hilang. Tapi waktunya tidak tepat. Sayang, Imung tak sadar menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kok geleng-geleng Mas? Ada apa?" Sandra kembali bertanya sambil tersenyum. Imung jadi salah tingkah. Sandra tak pernah menggunakan istilah-istilah banci ketika bertegur sapa dengan Imung. Tak sadar, Imung juga melakukan hal yang sama. Bicara dengan Sandra seolah-olah bicara dengan seorang asing yang rasanya ingin dekat namun masih jauh. Sulit bagi Imung untuk bisa lepas bebas ketika bicara dengan Sandra. Ingin lebih akrab sekaligus ingin memuaskan rasa curiganya akan bekas luka terserempet peluru itu. Bekas luka yang sulit dilihat karena tertutup oleh lebatnya rambut hitam pirang itu. Rambutnya yang indah. Ingin Imung membelainya.

"Mas?" panggilam Sandra membuyarkan lamunan Imung.

"Eh..iya...ndak usah mbak... kikah.. eh ..saya jalan sendiri saja..." jawab Imung setengah gugup.

"Saya? Nggak salah denger nih?" Mey ikut nimbrung tanpa memalingkan pandangan dari televisi. Imung buru-buru keluar lewat pintu tengah. Bergegas melangkah cepat-cepat menjauhi salonnya. Sekilas tadi sempat diliriknya Sandra. Gadis itu tersenyum. Menunjukkan deretan gigi yang putih bersih dan rapi. Duh, untungnya gue banci nek... kalau enggak? Pikir Imung. Kalau enggak apa? Apa mesti jadi banci terus? Pikiran Imung makin mengembara kemana-mana. Ah sudahlah, Imung berusaha menyudahi bayang-bayang pikirannya. Sekilas dipantaunya situasi sekeliling rumah. Jalan di depan rumah masih sepi. Hampir semua orang mempunyai garasi di rumahnya masing-masing. Hmm...baiklah, pikir Imung. Dia kemudian melangkah cepat-cepat menyusuri jalan utama untuk keluar dari kompleks perumahan itu. diambilnya jalan potong yang sepi dari orang lalu-lalang. Jalan itu sehari-hari menuju ke arah pasar.

Di dekat pasar ada tempat pembuangan sampah sementara. Imung berpikir untuk memancing sang agent penciduk ke tempat itu. Tak mungkin ada orang dan sekiranya ada, mungkin hanya segelintir orang yang tak peduli urusan orang lain.

Benar dugaan Imung! Sebuah motor Ninja hitam sedari tadi tampak mengikuti dirinya. Awalnya Imung hanya berpikir kalau motor itu hanya lewat saja, namun setelah tiga kali melewati dirinya dan kemudian kembali dari arah yang berlawanan, Imung mulai curiga. Imung kemudian mempercepat langkahnya. Harus segera tiba di tempat pembuangan segera! Pikirnya.

Bukan Banci BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang