Sigit Chan

274 28 0
                                    

Perjalanan ke Alor membutuhkan persiapan yang cukup panjang. Tidak mudah menjelaskan pada Mey apa yang terjadi waktu itu. Sebuah cerita bohong terpaksa dikarang. Tentang penjahat atau mafia yang memburu Sandra. Tentang ingatan Sandra yang cukup berbahaya yang bisa membongkar jaringan mafia itu. Menjelaskan pada Mey saja sudah sulit, apalagi pada ibunya. Pada Jenarti, ibu Imung yang selama ini bermukim di sebuah kota kecil yang lumayan jauh dari Surabaya. Selepas memiliki salon dan bekerja dengan Pancanaka, Imung memang meminta ibunya untuk beristirahat. Kembali ke desa dan Imung akan mensupport kebutuhan bulanannya. Sang ibu hanya tersenyum walau dia menerima juga usul Imung. Jenarti akhirnya bermukim di Wonosalam. Ada sebuah rumah milik saudaranya disitu yang akhirnya dibeli oleh Imung dan menjadi tempat tinggal Jenarti.

Imung menjelaskan apa adanya pada Jenarti. Kenapa salon harus tutup. Kenapa Imung harus pindah ke Alor. Dia tak mau berbohong pada ibunya. Dia jelaskan tentang Pancanaka. Tentang nyawanya yang terancam. Dan juga tentang Sandra alias Misel yang saat ini cukup dekat dengannya. Suara isak tangis di seberang semakin mengharu-birukan perasaan Imung. Tapi secara keseluruhan, ibunya mengerti apa yang sedang dialami oleh putra satu-satunya itu. Jenarti mendukung sepenuhnya tindakan Imung. Dia membesarkan hati anaknya itu. Kalau tindakannya sudah benar, terutama dalam hal menyelamatkan Sandra.

Mereka bertiga memutuskan menyewa sebuah rumah tinggal yang dekat dengan pantai. Kawasan itu dikenal dengan sebutan Binongko. Sebuah perkampungan nelayan yang cukup ramai sehingga kehadiran mereka tak akan terlalu mengubah suasana di sana. Perjalanan menuju Kalabahi, kota besar di pulau Alor itu lumayan memakan waktu. Perjalanan dari Surabaya menuju Kupang dan akhirnya dari Kupang menuju Alor. Walau dalam satu hari terdapat tiga penerbangan pulang pergi Kupang-Kalabahi, tak tampak jumlah penumpang yang surut. Apalagi dari Alor menuju Kupang. Pesawat selalu penuh. Tak ada kursi kosong.

Malamnya tak ada waktu untuk beristirahat. Benar kata Rinrin, Sigit Chan datang dan langsung memporak-porandakan tempat kediaman mereka. Sigit Chan berwajah bulat, mata agak sipit dan rambutnya dicukur habis ala pendeta Shaolin. Dia agen nomor lima di Pancanaka. Laki-laki itu datang dengan santainya ke rumah kontrakan Imung dan kawan-kawannya. Tanpa basa-basi dia langsung menendang paksa pintu rumah itu. Sigit Chan mengenakan celana panjang bahan berwarna hitam dengan kaos putih berkerah. Kepalanya yang bulat plontos benar-benar mirip sekali dengan rahib Shaolin di film-film. Semakin bertambah lucu dengan kacamata hitam bulat yang dikenakannya.

Misel berusaha menahan Sigit Chan dengan semua kemampuannya. Di situ Imung melihat kalau ternyata Misel cukup tangguh. Imung tak berani menggunakan senjata untuk merobohkan Sigit Chan. Dia tahu, Sigit Chan juga tak mau menggunakan senjata pistolnya. Suara pistol yang menyalak akan membuat banyak orang terbangun dan ingin tahu apa yang terjadi di rumah itu.

Imung turun tangan membantu Misel. Mereka berdua menyerang dengan teliti. Satu demi satu sudut gerak Sigit Chan dihambat. Tapi rupanya tak ada artinya bagi Sigit Chan. Tanpa emosi dia meladeni setiap serangan yang dilepaskan Imung dan Misel. Sampai suatu ketika tendangan Sigit Chan mampir di dada Misel dan membuatnya terlempar. Emosi Imung langsung meledak melihat Misel yang terkapar. Rinrin mencoba menghampiri Misel. Memastikan Misel tidak terluka serius. Misel berusaha bangkit. Punggungnya ditopang oleh Rinrin.

Wajah Imung tambah menyala. Manakala bergabung dengan warna kulitnya yang sawo, jadilah warna padam dan gelap. Dia menghunjamkan tinju. Sigit Chan mengelak.

"Jangan," kata Sigit Chan sembari mundur, tetapi, Imung tambah kalap. Dia menerjang, dan tanpa diketahui bagaimana kejadiannya, tiba-tiba dia merasa tubuhnya terbanting ke tanah.

Sesaat dia terheran-heran. Sigit Chan tegak di depannya sambil berkata pelan, "Sudah kubilang, jangan...."

"Shit!" teriak Imung. Dia bangkit dan kembali menerjang. Hanya sedikit kelitan, lalu pukulan Sigit Chan hinggap di rusuknya. Imung tersedak. Kenyerian yang amat sangat dia rasakan ketika dia jatuh lagi ke lantai.

Bukan Banci BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang