Semua Tentang Rinrin

271 29 0
                                    

Rinrin mulai bercerita....

"Nduk... ini bontotmu ya... hari ini ndak ada uang jajan..." seorang ibu memberikan sekotak tempat makan pada seorang gadis berusia belasan. Gadis itu memakai rok abu-abu dengan kemeja putih lengkap dengan lambang OSIS di saku kirinya.

"Mak... nggak enak ah bawa bekel Mak... malu..." si gadis menolak.

"Uang saja Mak..." pintanya melanjutkan kalimat sebelumnya. Rupanya dia merasa keberatan sebagai anak SMU masih membawa bekal dan bukannya jajan di warung sekolah. Perempuan yang dipanggil Mak akhirnya mengalah. Dikeluarkannya dua lembar uang ribuan dan diserahkannya pada si gadis.

"Lima ribu dong Mak... dua ribu bisa beli apa Mak?" si gadis masih mencoba memohon tambahan uang jajan. Si Mak menarik nafas panjang. Tetap saja diikutinya permintaan si gadis yang adalah anak semata-wayangnya.

Gadis itu berjalan dengan riang. Sebagai peranakan Dayak dan Jawa, sebagian besar penampilannya mengkopi utuh-utuh wajah ayahnya yang bersuku Dayak. Matanya menjadi agak sipit seperti peranakan Tionghoa dan kulitnya putih mulus. Sayangnya dia saat masuk ke sekolah negeri, sekolah yang pada masa itu masih belum ramah terhadap warga Indonesia yang dipandnag sebagai warga keturunan. Padahal dia bukan warga keturunan. Hanya penampakannya yang mirip. Dia adalah peranakan Indonesia asli. Bapak Dayak dan ibu Jawa. Lantas apa masalahnya? Lagi-lagi masalah bullying. Beda penampilan sedikit dari kebanyakan anak sekolah negeri yang cenderung mayoritas menyebut diri mereka pribumi seolah menjadi masalah besar. Ledekan demi ledekan sudah menjadi makanan gadis itu sehari-hari. Tak ada teman. Hampir semua lawan. Itu yang membuatnya di sekolah menjadi pendiam. Hanya membaca yang membuatnya senang. Membaca dan membaca hingga ukuran kacamatanya bertambah tiap tahun.

Setamat SMA gadis itu tidak melanjutkan kuliah. Dia mengambil kelas-kelas keterampilan hingga akhirnya seorang guru bidang tata rias memandangnya dnegan takjub seolah anak itu memiliki bakat terpendam di dunia tata rias. Gadis itupun memperoleh beasiswa untuk sekolah tata rias pada beberapa ahli terkemuka di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Ternyata guru yang membuka jalan baginya itu bukan sekedar guru biasa. Dia juga merangkap sebagai agent mata-mata yang bekerja di suatu lembaga bernama Pancanaka. Dari situlah gadis itu kemudian berkenalan dengan dunia intelijen. Bukan sebagai agent tapi hanya sebagai pendukung kinerja agent di lapangan sekaligus sebagai pengolah data.

Gadis itu adalah Rinrin...

Entah apa maksudnya menceritakan masa kecilnya. Bagi Imung itu tak menarik. Rinrin melepas kacamatanya yang berat dan berlensa besar itu. Jika tak berkacamata mata Rinrin terlihat sangat sipit. Rinrin sebenarnya cukup cantik. Perawakannya yang kecil, tubuh yang ramping, dan wajah mirip dengan artis Korea seharusnya bisa membawa peruntungan yang baik dalam karirnya. Tapi Rinrin memilih untuk berkarir di salon milik Imung. Tadinya Imung berpikir kalau Rinrin memang loyal. Memang ingin terus bersama Imung dan Mey dalam membangun Imel's Salon. Imung tak menyangka kalau loyalitas Rinrin ternyata bukan ditujukan padanya melainkan pada Pancanaka yang selama ini menempatkan Rinrin dalam salon milik Imung sebagai mata-mata.

"Sapose sebenaraya sang administrator itu?" tanya Imung tak sabar. Rinrin menggeleng.

"Nama pastinya saya tidak tahu, semua intruksi selalu disampaikan lewat telepon genggam yang sudah diamankan kodenya sehingga tak mungkin terlacak" Rinrin berusaha menjawab.

"Cara yey dapat hapenya?" Imung makin penasaran.

"Persis dengan caramu mendapatkan pesan..." jawab Rinrin lagi. Imung mengambil kursi. Duduk termenung sesaat.

"Terimakasih..." Rinrin berusaha memecah kebisuan.

"Untuk apa?" Imung menjawab seenaknya. Rasa kesal masih memenuhi ruang dadanya. Tangan kanannya mengeluarkan Walther PPK yang tadi menyalak dua kali untuk menghabisi Robert. Rinrin terkesiap. Takut kalau-kalau Imung berniat kembali membunuhnya. Ternyata Imung hanya memeriksa magazine. Menggantinya dengan magazine baru yang masih penuh. Dalam suatu pertarungan senjata, ada baiknya mengisi penuh amunisi sebelum mulai bertarung sehingga saat pertarungan dimulai kita dapat menghitung berapa peluru yang sudah keluar dan berapa sisanya. Cara ini cukup sangkil dan mangkus dalam menilai kekuatan sendiri dan menilai kemungkinan menang atau tidaknya dalam suatu pertarungan senjata.

Bukan Banci BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang