Sang Administrator

440 38 1
                                    

Hanya ada satu bangunan yang tampak berbeda dari bangunan lain. Misel menduga kalau bangunan itulah saat ini yang menjadi basis operasi Pancanaka. Tidak mungkin Pancanaka begitu saja meninggalkan aset penting berupa sebuah tambang emas tanpa dijaga ketat. Tapi itulah pemandangan yang terlihat malam itu. Hanya ada satu pintu masuk yang di atasnya terdapat sebuah kamera CCTV.

Imung memberi kode pada Misel untuk berputar. Mereka berencana akan masuk dari dua sisi yang berbeda untuk menghindari kamera CCTV itu.

"Ssstt.." Imung berbisik ke arah Misel. Memberi kode bahwa di dekat posisi Misel ada seorang penjaga. Misel merunduk. Penjaga itu lewat tanpa menduga sesuatu bakal terjadi. Dengan cepat Misel menyambar kedua kaki penjaga itu dan menariknya dengan cepat.

"Hah..." penjaga itu kaget. Pukulan keras di bagian tengkuk yang bertemu dengan siku Misel untuk sementara waktu membungkamnya. Mungkin dia akan pingsan sampai besok pagi. Misel bertemu dengan Imung di depan pintu masuk ke bangunan itu. Pintu itu tidak dikunci. Imung mendorongnya perlahan. Rupanya di balik pintu itu ada sebuah lorong yang di kiri-kanannya terdapat beberapa ruangan. Imung bergerak maju dengan setengah berjingkat. Samar-samar mereka mendengar suara percakapan di salah satu ruangan.

"Kau gila kah Rayhan? Pancanaka tidak didesign untuk hal seperti ini..." sebuah suara berat terdengar. Suara itu seperti membangkitkan ingatan Imung akan masa lalu. Rasanya Imung kenal dengan suara itu tapi siapakah dia? Imung mencoba melirik. Laki-laki yang bersuara berat itu tampak tua dengan garis-garis wajah tegas menyiratkan umur yang tak lagi muda. Imung tak tahu siapa lelaki itu. Yang jelas lawan bicaranya adalah Rayhan. Imung tak tahan lagi. Ingin dia segera keluar dan bertanya banyak hal pada Rayhan.

"Kau tak tahu apa-apa soal bisnis... setiap operasi yang kita lakukan butuh biaya besar you know... okelah bicara dalam negeri tapi jangan lupa, mereka yang diluar sana butuh support lebih besar!"suara itu suara Rayhan. Orang yang pernah Imung temui di kantor Syailendra komputer.

"Sudahlah.. kembalilah kau ke Bangkok. Percayakan saja operasi di sini padaku..." Rayhan melanjutkan ucapannya.

"Pancanaka was not design for this... not for this..." suara itu menimpali ucapan Rayhan.

Rayhan tertawa tergelak. Imung dan Misel begidik sesaat mendengar suara tawa yang menyeramkan itu. Tiba-tiba terdengar bunyi senjata ditembakkan. Imung dan Misel merunduk makin rendah. Suara tembakan itu terdengar beberapa kali silih berganti seperti berasal dari dua pistol yang berbeda.

"Masih bagus gerakanmu Nanta...ha...ha..ha.. sekarang kita coba dengan tangan kosong..." suara Rayhan terdengar. Imung menduga telah terjadi perkelahian senjata jarak dekat persis saat dia di kamp dulu. Setelahnya dia mendengar bunyi dua senjata yang berbenturan dengan lantai.

Kemudian suara tangan beradu dengan tangan terdengar. Silih berganti dengan suara perabot yang hancur berantakan.

"Rupanya anakku cukup merepotkannmu hah...Rayhan..." suara yang seperti dikenal itu mengagetkan diri Imung. Anakku? Siapa yang dia maksud?

"Si banci itu memang tangguh... tapi bukan karena gemblenganmu Nanta..." Rayhan menjawab sambil tetap bergerak cepat. Pertarungan jarak dekat itu cukup imbang. Si lelaki yang lebih tua yang dipanggil Nanta itu masih dengan santai bisa meladeni gerakan Rayhan.

"Bukan karena gembelenganmu..." lanjut Rayhan lagi mengulang kalimatnya mempertegas.

Misel memberi kode pada Imung. Rupanya dia sudah tak sabar ingin menyerang. Imung menggeleng seolah hendak berkata "Nanti.."

"Arrghhhh..." sebuah pukulan keras rupanya menghantam rusuk Rayhan. Dia terlontar ke belakang. Tubuhnya menghantam barisan packing kayu di belakangnya.

Bukan Banci BiasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang