Chapter 3

14.3K 1.3K 24
                                    

Boleh protes kalau mainstream.
Wehehe.


***

"Kapan lo berhenti, Li?"

Aldo duduk di salah satu sofa milik Ali. Melihat temannya yang masih asik meneliti uang merah merah yang katanya sebanyak 700 juta itu tanpa menyentuhnya sama sekali.

"Nggak tau, Do." Jawab Ali tanpa sekalipun menoleh ke arah Aldo. Pelan pelan Ali menutup kembali koper besar berwarna silver itu.

"Kenapa nggak lo hitung? Why don't you count the money?"

Ali mengedikkan bahu acuh. "It's up to me, Brother. Didepan kita itu 700 juta, Man! Bahkan kalo itu kurang dari 700 juta, satu tahun pun nggak bakalan abis. Uang gue masih milyaran di brankas."

Aldo menghembuskan nafas. Kalau boleh jujur, sebenarnya Ia sudah lelah dengan kelakuan sahabatnya sejak SMA ini. Bisa saja Ia melaporkan Ali ke polisi. Bukti bukti bahkan sudah banyak yang Ia genggam. Namun, Ia bisa apa? Ali sahabatnya. Dari SMA.
Seburuk buruknya Ali, Ali tetap teman yang lebih dari teman.

Bagi Aldo yang sudah membangun rumah tangga dan akan dikaruniai anak satu, seorang pekerja kantoran biasa dengan gaji pas pasan. Jujur Ia mengaku Ali banyak membantunya. Membantunya meminjami uang jikalau dia sedang krisis uang. Tidak banyak. Namun bagi Aldo itu sudah sangat membantu.

Yang membuat Aldo sempat heran, sahabatnya yang satu ini juga sangat paham dengan haram-halal. Ali juga mengetahui kalau pekerjaan membunuhnya sudah melenceng jauh dari ketentuan agama. Bahkan Ali sendiri sengaja memisahkan uang haramnya --hasil dari pekerjaan ilegalnya sebagai pembunuh-- dengan uang halalnya --hasil bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan-- di tempat yang berbeda. Milyaran uang Ia taruh di brankas. Jutaan uang Ia taruh di Bank. Tentu saja uang halalnya lebih sedikit.

Ali juga pernah mengaku secara blak blakan terhadap Aldo kalau Ia juga sudah membedakan bagaimana cara Ali mengelola kedua jenis uang itu. Uang hasil membunuhnya Ali gunakan untuk hal hal yang melenceng jauh dari agama juga. Untuk membeli minuman keras, wine, vodka. Taruhan dari diskotik yang berbeda setiap minggu. Ali juga sempat menjajal narkoba, namun segera berhenti karena Aldo mengetahuinya, selain itu Ali sendiri juga ogah kecanduan. Bisa bahaya kalau Ali di grebeg polisi suatu saat nanti.
Sementara, uang yang Ali hasilkan dari pekerjaan sekretaris nya Ia gunakan untuk barang barang yang halal juga. Membeli makanan, minuman, baju, membayar tagihan apartement.

Sungguh. Aldo benar benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Ali. Tetapi Aldo sangat yakin, Ali masih punya hati nurani yang tidak ikut menjadi batu seperti otaknya.

Aldo beranjak mendekati mini bar. Menuangkan air putih ke dalam gelas. "Gue rasa penghasilan lo sebagai pekerja kantoran udah lebih dari cukup buat menuhin kebutuhan hidup lo, Li. Bukannya gue mau nilai lo. Tapi lo hidup juga sendirian. Apalagi perusahaan yang lo tempatin itu nggak main-main." Aldo meneguk air putihnya sebanyak tiga kali, lalu menatap Ali yang terpejam sepenuhnya menyandarkan tubuh pada badan sofa. "Berhenti, Li. Menurut gue lo udah keterlaluan. Biarpun orang orang yang lo bunuh itu kebanyakan orang yang pada nggak beres kelakuannya, gue mau lo berhenti."

Mata Ali terbuka. "Susah buat berhenti, Do. Itu pekerjaan sampingan aja. Jujur, gue kesepian."

"Jangan bilang lo mau balas dendam kelakuan kakak kakak lo itu? Iya?"

Ali hanya diam. Black light itu juga belum tau apa yang Ia inginkan sekarang.

"Kalo hidup lo hanya dipenuhin oleh nafsu doang, Li. Lo nggak bakal bahagia. Sekalipun pikiran lo seneng ngelakuin itu. Otak lo puas. Tapi, gue yakin setiap manusia juga masih punya hati nurani. Termasuk, Lo." Tegas Aldo lagi.

Black LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang