Chapter 4

12.2K 1.2K 28
                                    

Aloha para readers kesayangan...

Oke. Gue siap dikatain PHP kok. Sorry banget karena post next nya lama. Ada yang nunggu? Pasti sedikit ya yang nunggu atau memang tidak ada sama sekali..

Tapi nggak papa deh. Yang penting author udah buat yang terbaik..
Sorry karena part ini sedikit. Sebenarnya masih merangkai kata kata ketegangan di part setelah ini.. mungkin didatengin polisinya?

Selamat membaca! Dan semoga tidak mengecewakan... :) :)

-------

Kulihat dia memalingkan muka dan ngobrol sama temennya. Entahlah, hatiku terasa.... mencelos. Aku memang tidak terbiasadiabaikan seperti itu. Tetapi aku memaklumi. Gadis itu belum mengenaliku. Jadi sangat wajar kalau dia begitu.

Melihat dia tersenyum.., itu sudah cukup. Akhirnya, aku memilih pergi.

-----

Prilly's POV

Ah!!!

Akhirnya jam yang ditunggu tunggu para murid di seluruh Indonesia hadir juga. Pasti kalian tau jam apa? Jam pulang sekolah. Entah apa yang membuat para pelajar kegirangan saat bel pulang sekokah berbunyi. Padahal, menurutku sendiri juga nggak ada istimewa istimewanya. Hanya sebuah bel yang berbunyi tanda berakhirnya semua pelajaran. Bunyinya juga biasa aja tuh. Kalo enggak "kriiiing!!!" Atau "Ting nong!! Ting nong!!" Mungkin bisa juga "Ting nong!! Pelajaran hari ini telah usai. Selamat bertemu esok hari" untuk yang terakhir biasanya di lanjutkan dengan terjemahan bahasa inggrisnya.

Sangat biasa. Namun membuat para pelajar di Dunia rela ber jam jam berjenuh jenuhan, ngantuk mengantuk secara tidak langsung hanya untuk mendengar bunyinya. Tak dapat dipungkiri. Akupun juga seperti itu.

Tiga jam pelajaran, berkutat dengan pelajaran fisika yang membuat kepala nyaris meledak tercecer cecer. Bahkan rumus rumus fisika sampai sekarang masih berterbangan memenuhi otakku ini.

Gurunya pun tak kalah menyebalkan. Pak Kusdiono asli wong Jowo. Berpanggilan Pak Kus. Bagaimana nggak asli "wong jowo" , orang biasanya ngajarnya aja secara tidak sengaja memakai bahasa Jawa asli hingga membuat murid satu kelas bingung bagaimana mengartikannya karena terdengar asing atau bahkan sama sekali tidak tahu. Apalagi logatnya yang sangat ke-Jawa-an sangat kental.

Bayangkan saja. Saat guru fisika menjelaskan secara rinci dengan logat logat campuran yang membuat perut melilit. Ingin protes namun tak berani. Ingin tidak mendengarkan namun takut tidak bisa. Itu menurutku adalah posisi ter tidak PeWe. Ditambah satu lagi. Pak Kus itu lumayan Killer. Jadi mau tidak mau. Yah... begitulah.

Setelah mengemas, aku bergegas meninggalkan kelas menyusul kedua temanku yang sudah lebih dulu. Dhena, dan Lora.

"Eh eh eh. Kalian main tinggal aja. Bentarrr! Tungguinnn.." Lariku mengejar mereka.

Mereka berhenti, menoleh kebelakang menatapku.

"Ya elaahh, Prill.. lagian lo lama sih. Emang buku lo seratus apa? Berkemas aja lama pake banget." Sewot Lora. Sementara Dhena hanya mengangguki. Dhena memang lebih simpel daripada Lora yang cerewet. Dalam arti lain. Hanya bicara seperlunya saja.

Aku mendengus. Lalu memposisikan diri di tengah tengah mereka. "Lora sayang..., please deh jangan ngomel mulu. Lagian gue juga udah disini kan. Udah. Yuk jalan."

Kulihat Lora mendengus karena ku acuhkan begitu saja. Tapi sesaat kemudian mimik mukanya kembali seperti biasa. Seakan kekesalan itu menguap ditelan udara.

Beginilah memang. Kami tidak pernah merasa marah satu sama lain. Dan perdebatan kecil tadi hanya sebuah bumbu dari persahabatan yang kami miliki. Semakin banyak kami mengolok satu sama lain, semakin erat pula persahabatan yang kami jalin. Lora yang centil, dapat melengkapi Aku dan Dhena yang asli tidak banyak bicara. Bukankah perbedaan justru dapat menyatukan?

Black LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang