Chapter 12

8K 932 24
                                    

Author's POV

"Bisa nggak sih, lo nggak asal jemput gue? Pakek pemaksaan lagi! Lo pikir gue apaan? Gue kesannya kayak cewek murahan tahu nggak, yang asal mau nebeng cowok aja!" omel Prilly di dalam mobil.

Ali dan Prilly sekarang berada di perjalanan pulang. Mungkin hampir sepuluh menit lebih Prilly mengomel tidak karuan pada Ali yang menurutnya lancang itu. Sementara Ali? Jangan tanya lagi. Dengan tampang cuek seakan tidak berdosa itu, dia tetap memandang lurus ke depan. Sama sekali tidak menggubris perkataan Prilly.

"Lo denger gua nggak sih?!" gemas Prilly.

"Sekarang gue tanya bLo ceweknya jual mahal nggak?" tanya Ali.

"Ya bukan jual mahal gitu! Gue cuma pengen hati-hati aja sama cowok," sungut Prilly.

"Nah ... kalo gitu lo jual murah," kata Ali menohok. "Kalo lo jual mahal, seharusnya lo nggak duduk di samping gue sekarang."

"Kan lo yang maksa? Gimana sih?"

"Tapi lo mau juga kan? Yaudah sih." Ali menirukan gaya bicara Prilly sebelumnya. "Lagian, pokoknya gue mau antar lo pulang," ucap Ali sama sekali tidak memandang muka syok Prilly.

Prilly merengut. "Kalo udah ada hukum UUD 'POKOKNYA' pasti nggak bisa diganggu gugat."

Ali mengangkat alis di balik kacamata hitamnya. "Ya emang. Kan udah kebukti kalo itu nggak bisa diganggu gugat? Lo udah buktiin juga lagi. Buktinya sekarang lo naik mobil gue kan?" tanya Ali lagi. Skak mat.

"Hihh!!!!" kata Prilly tak sadar mencubit lengan Ali.

"Hahahhahah!!!" Membahanalah tawa Ali. Ali menyempatkan menoleh untuk melihat muka kemerahan Prilly. Dia tersenyum dalam hati.

"Gue suka lo ngambek, Prill. Asal ngambeknya sama gue," kata Ali dalam hati.

Prilly masih saja merengut. Bukan ini yang dia pikirkan sebenarnya. Prilly hanya kasihan pada Dhena dan Lora yang tadi melongo akut waktu Ia menaiki mobil Ali. Mungkin mereka terpana. Seorang Prilly dijemput dengan mobil hitam mengkilap dengan atap terbuka, serta menampakkan sosok bak pangeran di dalamnya. Bahkan Lora dan Dhena tadi iya-iya saja ketika Prilly pamit mau nebeng Ali —karena dipaksa. Itulah yang membuat Prilly sebal.

Setelah bermenit-menit kemudian,

"Cepet turun!" Ali setengah hati berteriak. Sementara Prilly diam tak bergeming.

"Pril? Udah nyampe nih," katanya lagi.

"Papa udah pulang," gumam Prilly tak sengaja ketika melihat sebuah mobil Honda Brio putih di depan rumah dengan gerbang terbuka.

"Apa lo bilang?" tanya Ali penasaran.

Prilly menghadap ke arah Ali. "Ah ... enggak, Li. Btw, thanks ya, udah nganterin gue pulang."

Mendengar kata-kata Prilly, Ali justru mengeryit. Bukannya sebelumnya Prilly sempat marah dengannya, dan lagi, sebagai pelajar saat-saat pulang sekolah adalah hal yang paling ditunggu-tunggu?
Tapi, kenapa Prilly Justru berubah drastis ketika melihat mobil putih itu?

"Ehm ... yaudah. Gue turun sekarang. Sekali lagi makasih ya," kata Prilly mengulangi. Dia membuka pintu mobil, lalu turun dari sana. Aku habis sebentar lagi, kata Prilly dalam hati.

"Pril? What's wrong?" tanya Ali. "Muka lo pucet."

Prilly heran. Apa? Pucet? batinnya tidak percaya.

Prilly tersenyum. Terpaksa. "Nggak papa," katanya. "Ya udah. Buruan gih pulang! Nanti dicariin bonyok lo kalo lo pulang kesorean."

Ali tersenyum kecut. Bonyok? Punya aja enggak. Tapi satu hal yang Ali sadari. Prilly memang belum tahu apa-apa tentang dirinya. Termasuk pekerjaan sampingan membunuh orangnya itu.

Haha. Sampingan?

"Ya udah. Gue pulang sekarang," kata Ali. Tak lama kemudian, mobil nya sudah melesat hilang dari pandangan.

Prilly menghembuskan napas.

Nerakanya datang lagi.

---

"PRILLY!!!"

Suara bariton itu mengagetkan Prilly. Langkah Prilly mendadak terhenti. Perlahan, badannya menghadap ke belakang.

"SUDAH BERAPA KALI PAPA BILANG, JANGAN PULANG SORE!" bentaknya lagi.

Prilly hanya mampu menunduk. "Maaf."

Dengan langkah cepat, Papa mendekati Prilly dan ....

PLAK!!

Satu tamparan keras mengenai pipi putih Prilly.

"Papa!" pekik Prilly serta merta. Mati matian Ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tidak boleh menangis. Tidak boleh.

"KAMU SELALU MEMBANTAH KATA KATA PAPA, PRILLY!! TERUS SIAPA YANG NGANTAR KAMU TADI?!! COWOK NGGAK BENER?!" bentak papa. Sungguh, Prilly benar benar tidak kuat.

"BAGUS YA, PRILL?!! KAMU PIKIR BAGUS BERGAUL DENGAN LAKI LAKI SEPERTI ITU?! DASAR!! BUAT APA PAPA MENGASUH ANAK YANG TAK TAU DIRI SEPERTI--"

"UDAH, PA!" teriak Prilly.

Sudah cukup Ia menjelekkan Ali seperti itu. Sudah cukup ia membuat Prilly menderita selama ini.

Tangan Prilly menyusut air mata yang sudah mengalir entah sejak kapan. Dengan penuh keberanian, Ia menatap sosok yang kini sangat di bencinya itu.

Sosok yang dulu sangat Ia sayang. Sosok yang dulu ia dambakan seperti seorang pahlawan sejati.

Bahkan sekarang Prilly ragu. Apakah benar orang sepeeti itu pantas Ia panggil dengan sebutan "Papa"?

"Papa tahu apa soal temen Prilly? Papa tahu apa soal kehidupan Prilly? Apa Papa nggak sadar? Papa yang sekarang bukan Papa yang dulu Prilly sayang! Papa yang sekarang bukan Papa yang dulu senantiasa tersenyum ketika lihat Prilly! Papa yang sekarang adalah sosok yang sangat Prilly benci!"

Praja -papa Prilly- berdiri dengan api membara di depannya. Tapi, Prilly tidak peduli. Ia sudah tidak tahan lagi.

Prilly menyusut air matanya lagi.

"Sekarang giliran Prilly yang tanya, Pa," ucapnya bergetar. "Keren, Pa, bawa perempuan beda-beda hampir setiap hari ke rumah ini, Pa? Apa Papa nggak mikir gimana perasaan Mama lihat Papa yang sekarang jadi rusak kayak gini?

"Kepergian Mama sama adik bayi juga membuat Prilly sedih, Pa! Seharusnya Papa tau itu! Seharusnya Papa sadar! Di mana kasih sayang dari Papa selama ini sama Prilly? Di mana sosok seorang pahlawan setiap saat Prilly yang dulu Prilly temukan dalam diri Papa?! PAPA PRILLY YANG SEKARANG NGGAK JAUH BERBEDA SAMA LAKI LAKI BRENGSEK YANG ADA DI LUAR SANA!"

PLAK!!

Satu tamparan di tempat yang sama menghampiri Prilly lagi.

Namun, kali ini Prilly hanya mampu tersenyum menahan kepedihan yang amat sangat.

Selanjutnya Prilly berlari. Menaiki tangga menuju kamarnya dengan perasaan sakit yang luar biasa.

Dia sangat membenci hidupnya.

Prilly berdiri terpaku di depan kamarnya.

Aku ... rasanya ingin mati saja.

---

2015.

---

Retanthor:
Update ulang 20 Juli 2021. Terima kasih sudah membaca✨

Black LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang