Tre

6.2K 301 3
                                    

"Aku tidak tahu, aku tidak mengerti dengan semuanya. Aku harus bagaimana?" Bibir Alia bergetar saat mengatakannya.

Alex melepas pelukan dan memandang Alia dalam-dalam. "Tenanglah, pasti ada jalan keluar," bisiknya. Walau pun Alex tidak tahu masalah Alia sesungguhnya tetapi ia yakin sesuatu halnya tidak akan jauh dari Fero.

Alia mengusap air matanya yang sudah nyaris kering. Sudah cukup, pikirnya. Ia sudah melepas topeng kuatnya di hadapan Alex. Ia bukan wanita tegar lagi. Ia hanya wanita rapuh yang menyembunyikan segala sesuatunya dengan tegar.

●●●

"Kopi?" Suara Julie terdengar saat wanita itu memasuki ruangan Alia. Alia menggeleng, situasi seperti ini benar-benar menyulitkannya untuk tidur, jika ia meminum minuman hitam pekat tersebut, mungkin ia akan menjadi kalong semalaman.

"Oh iya, bagaimana kabar Alex? Apa dia sudah pulang?" Julie menarik bangkunya ke hadapan meja Alia yang terlihat tidak sibuk.

Alia mendesah pelan, "ya seperti itulah. Aku cukup lega sekarang karena Alex tidak lagi memberontak. Ia lebih banyak diam dan tenang walau pun sesekali cerewetnya mulai timbul. Aku tahu ia masih malu menampakkan kesedihannya di hadapanku. Kata dokter jika kondisi psikologisnya mulai stabil ia diperbolehkan pulang, kalau soal luka untungnya ia hanya cedera di dahinya yang terbentur, beberapa waktu lagi pasti sembuh." Terang Alia lengkap selengkap-lengkapnya. Julie mengangguk mengerti.

"Oh ya, kau tidak pulang?" Suara Alia kembali terdengar setelah keheningan mendominasi.

"Tugas masih banyak dan deadline semakin dekat, aku tidak bisa pulang malam ini."

Alia mengangguk, mereka senasib. Dan sekarang ia harus meyiapkan satu gambar dan ia akan menyambungnya besok. Ia tidak mau matanya memiliki lingkar panda esoknya karena itu sangat mengganggu.

Dua jam lewat kemudian Alia tampak membereskan mejanya yang permukaannya tak tampak lagi--tertutup oleh lembaran-lembaran kertas dan buku-buku panduan lainnya. "Aku pulang dulu ya?"

Julie yang sedang asyik dengan komouternya menoleh, "ah, kau mau pulang rupanya. Ya sudah hati-hati ya,"

"Hm iya. Sudah jam delapan malam, hati-hati ya..." Alia mengatakannya dengan bergidik ngeri. Julie yang langsung mengerti maksud Alia bersiap melempar gadis itu dengan spidol yang ada di mejanya.

"Bercanda. Sampai jumpa, Julie." Alia berjalan keluar kantor dan terpaksa turun memakai tangga karena lift sudah mati. Alia menuruni tangga dengan hati-hati dan mengingat high heelsnya yang tingginya mencapai tujuh sentimeter. Seandainya ia memakai flat shoes atau sepatu kets, mungkin ia bisa berlari-larian sekarang karena sejujurnya ia takut sekali.

"Alia,"

Suara itu.. tunggu dulu. Alia teringat kepada seseorang, ia meluruskan pandangan dan jantungnya merasa dipermainkan kembali. Fero, lelaki yang termasuk ke dalam blacklist orang yang tidak boleh ia temui untuk beberapa saat. Tetapi kini orang tersebut menampakkan diri di hadapannya.

Refleks kaki Alia melangkah mundur dan berniat untuk melangkah menjauh dari laki-kaki itu. Demi Tuhan ia ingin kabur sekarang juga!

"Jangan menatapku seolah aku ini adalah wabah penyakit yang harus dihindari, Alia."

Persetan dengan perkataanmu, Fero. Bathinnya berteriak keras. Andai saja Fero dapat membaca pikirannya, seharusnya pria itu mengemis berlutut minta maaf atau lebih baik pergi dan tak pernah kembali di hadapan wajah Alia.

"Tadi aku ke apartemenmu tetapi setelah memencet bel berkali-kali tidak ada respon, makanya aku ke sini. Ternyata feelingku benar." Fero tersenyum dan matanya menyipit. Alia buru-buru menunduk takut luluh seperti biasanya. Kemudian gadis itu memilih tidak angkat bicara.

Dreams: Impossible Until it Done (CERITA SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang