Diciassette

3.2K 172 0
                                    

Rintikan air gerimis mulai membasahi apa pun yang tak terlindung, tiba-tiba suasana malam kota yang ribut mulai hening dan sepi karena kebanyakan dari mereka berteduh. Semua orang sibuk berlari dan ada pula yang menepi untuk berlindung.

Terkecuali satu. Namanya Alia.

Ia dengan antengnya berdiri di piggir jalan menunggu taksi yang tak kunjung datang. Ia tidak peduli rintikan basah itu membuat rambutnya lepek dan pakaiannya kotor dipenuhi bercak air. Ia juga tidak peduli karena dengan kelakuannya itu mulai mengundang perhatian orang banyak.

Alia menatap lurus ke depan. Jika situasi seperti ini ia merasa sedang de javu. Ia merasa jiwanya dibawa kembali kembali mundur ke beberapa waktu yang lalu. Tepat setelah kecelakaan itu.

Alex yang masih emosional berdiri di tengah taman rumah sakit yang kala itu sedang dilanda hujan deras di tengah musim kemarau. Tubuhnya yang tegap itu tampak lesu menatap nyalang setiap manusia yang lewat di kejauhan sana. Tidak. Mungkin bukan setiap orang, tetapi ada satu yang menarik perhatiannya. Yang Alex bilang, gadis itu begitu mirip parasnya dengan Tania. Tapi Alia tidak mau percaya, karena bisa saja pria itu berhalusinasi karena keadaan psikologisnya sedang tidak baik.

Alia tersenyum ketika mengingat-ingat setiap detiknya tatkala dirinya menjadi seprang pengamat. Senyumnya tambah melebar setelah yang ia lakukan saat ini ada persis seperti yang pria itu lakukan. Bedanya, Alex tidak memperhatikannya lagi. Tentu saja, karena ia benar-benar sendiri di sini.

Gadis itu bergerak mundur ketika ada mobil sedan yang mau menepi persis di tempatnya. Bukan taksi yang datang, melainkan mobil berwarna silver kalangan atas yang platnya Alia tidak hafal. Dalam beberapa detik saja, jendela mobil itu terbuka menampakkan siluet pria yang tengah menatapnya jengah.

Lama mereka bertatapan. Mungkin kalian bisa menyamakannya dengan adegan di sinetron atau film-film layar lebar dengan genre romantisnya. Gadis itu tak bergeming, seolah tatapan beberapa detik itu mampu menghipnotisnya.

Suara pintu terdengar dibuka dan keluarlah pria itu. Pria itu menggunakan payung sehingga pakaian dan rambutnya tidak basah di terpa angin dan hujan. Langkahnya pasti mendekati Alia yang terus menatapnya.

"Bodoh," kata pria itu pada akhirnya. Kata pertama yang keluar dari rasa kesalnya karena menyadari tingkah laku gadis di depannya ini. Kini posisi mereka begitu dekat agar satu sama lain tertutupi oleh air yang turun dengan payung.

Alia mengambil langkah mundur lagi, kali ini tidak sebanyak tadi. "Payungnya untukmu saja." Kata Alia.

Arya tetap keras kepala, ia maju dan kembali melindungi kepala gadis itu supaya tidak terkena hujan. "Kau sakit sedikit saja menyusahkan," kata Arya. "Apalagi banyak."

Alia merengut sebal. "Kau lihat, aku sudah terlanjur begini." Alia menatap ke bawah melihat coat merah menyalanya dan stocking hitamnya yang basah. Ia juga memegang rambutnya yang semakin hari semakin panjang itu ikut-ikutan lepek.

Suara petir yang datang tiba-tiba tentu saja membuat mereka terkejut. Dengan sigap Arya membuka pintu sisi kemudi dan menuntun Alia agar segera masuk. Kemudian ia setengah berlari untuk masuk ke dalam dan mereka siap meluncur membelah jalan kota yang hujan.

Arya menekan tombol radio karena ia tak memiliki ide apa pun untuk memutar cd apa malam ini. Ekor matanya melirik ke sebelah kiri dan menyadari gadis itu masih tetap diam sepanjang perjalanan.

"Sebenarnya aku lebih suka kau yang cerewet dibandingkan diam seperti burung yang sakit seperti ini." Komentar Arya.

Alia menoleh lalu tertawa kecil. "Aku masih peduli dengan kesehatan telingamu," responnya jenaka.

Dreams: Impossible Until it Done (CERITA SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang