Diciotto

3.1K 156 1
                                    

Langkah Alex otomatis bergerak mundur tanpa disadari olehnya. Bagaimana mungkin Tania hidup kembali? Astaga, benar-benar tidak ada yang berubah, hanya saja mata gadis itu terlihat begitu sayu. Kepalanya bergerak menciptakan sebuah gelengan yang lambat karena saking tidak percayanya. Oh, bagaimana mungkin mata tajam dan dinginnya itu sudah rusak dan tak bisa ia percayai lagi untuk mengamati sesuatu?

Gadis yang diperkirakan berumur seperempat abad itu pada awalnya tersenyum tipis menatap Alex dengan sopan. Tapi pada detik selanjutnya bola matanya membesar dan ia menyadari kalau seseorang yang mulai detik ini menjadi boss nya adalah seseorang yang sudah meninggal.

"B..bapak, maaf," ia menarik nafas. "Bukannya anda sudah meninggal beberapa bulan yang lalu?"

Kakinya mulai melangkah ke belakang menciptakan gerakan mundur yang teratur hingga masing-masing dari menciptakan jarak yang amat jauh. Dan pada detik yang sama masing-masing dari mereka ingin berlari jauh menghindari satu sama lain menghalau ingatan masa lampau yang menyakitkan.

"Apa?"

●●●

Alex berdiri di pinggir atap menghadap ke jalanan. Matanya lurus ke bawah seraya mengingat-ingat sesuatu.

Telinga Alex bisa mendengarkan sayup-sayup suara tangisan seorang wanita. Ia bergidik ngeri dan berjalan ke asal suara. Sebuah kamar paling pojok di lantai dua. Kamar tersebut terlihat berpenghuni karena cahaya lampu kamar yang menembus pintu yang diselipi kaca di atasnya.

Alex mencoba mengintip dan gadis itu. Gadis yang ia perhatikan tadi siang. Astaga, Alex nyaris frustasi karena gadis itu benar-benar mirip dengan Tania. Hatinya kembali teriris seolah ia benar-benar melihat Tania yang menangisinya. Kaki Alex bergetar, untungnya di setiap luar kamar terdapat bangku panjang sehingga ia bisa duduk sejenak di sana.

Tiba-tiba saja pintu kamar tersebut dibuka dari dalam. Jantung Alex berdegup kencang, berkali-kali ia meyakinkan diri kalau gadis itu bukanlah Tania tetapi hatinya masih tidak percaya.

Gadis itu keluar dengan sesenggukan dan mata sembab, sesekali ia mengusap air matanya. Gadis itu pun duduk tak jauh dari Alex sehingga ia juga dapat merasakan sakitnya. Entah perasaan macam apa itu tetapi ia merasa bersimpati.

"Nona,"

Gadis itu menoleh ke belakang. Tatapannya kosong. Alex merogoh sakunya dan meraih saku bajunya. Ia menyodorkan sapu tangan kepada gadis itu.

"Ini bersih," sambungnya lagi.

Dengan rasa enggan gadis itu menerimanya dan mengusap air matanya. "Terima kasih," gadis itu mengembalikannya kemvali dengan senyuman tipis.

"Tidak apa-apa,"

"Oh ya kau tidak istirahat? Di mana kamar rawatmu?" Gadis itu meberanikan membuka suara saat menyadari Alex berjalan memakai seragam pasien sambil membawa selang infus di tangan kirinya.

"Hm? Ng di sana," Alex tidak tahu harus menjawab apa jadi ia sembarangan menunjuk sebuah kamar.

Kemudian tangannya menutup mulutnya ketika tawa kecilnya keluar. Ia baru teringat gadis itu adalah korban halusinasinya ketika dirinya sedang depresi atas kematian Tania secara tiba-tiba. Saat itu Alex berusaha mencoba menerimanya dengan lapang dada namun entah mengapa tiba-tiba gadis yang menjadi bawahannya kali ini muncul seperti sosok reinkarnasi dari Tania. Ia menghela nafas menertawai kebodohannya setengah jam yang lalu.

Alex berjalan mendekati perempuan itu yang kini tengah duduk di salah satu bangku taman atap yang tak jauh darinya. Alex yakin gadis itu juga sedang berpikir mengapa kejadian hari ini begitu aneh.

Dreams: Impossible Until it Done (CERITA SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang