Ventidue

2.8K 138 1
                                    

Ia memutar pandangannya, menatap Arya dan kali ini sangat berharap pertanyaannya dijawab. "Arya, aku penasaran mengapa kau memilihku waktu itu. Dari sekian banyak perempuan di sana, yang rasanya mungkin lebih pantas atau mungkin lebih bisa memainkan perannya dibandingkan aku, alih-alih kau memilihku. Menjadikan aku kebingungan mengapa aku merasa di dalam sebuah cerita."

"Waktu itu," Arya berpikir keras, berusaha mengingat sesuatu dengan detail.

Arya memasuki ruangannya dengan frustasi. Ia baru saja makan siang di luarm sepulangnya, lebih tepatnya saat di perjalanan ibunya menelepon. Ia tidak memiliki firasat aneh waktu itu karena isu gay sudah berjalan sebulan belakangan, jadi dirinya berasumsi keluarganya tidak tahu sama sekali mengenai kabar itu. Jadi, dengan tenang ia mengangkat telepon, sambutan kata pertama yang keluar dari bibirnya dibalas amarah dan kekesalan ibunya. Arya tersadar kalau dirinya benar-benar disorot sekarang.

Sebenarnya, Arya ingin sekali menyerah waktu itu. Ia sangat lelah menghadapi tatapan aneh orang-orang dan ia ingin hengkang sejauh mungkin kalau bisa. Tetapi tidak, tanggung jawab seorang Arya Valeriano terlalu berat. Jadi, ia tidak bisa main-main dan mengambil keputusan seenaknya. Mau tidak mau ia harus mengesampingkan segala sesuatu yang dianggap tidak berhubungan dengan perusahaan, termasuk perasaannya sendiri. Arya mulai dingin, Arya yang hangat setiap waktunya mulai merasa dirinya mengalami perubahan. Ia menjadikan perubahan karakter dirinya sebagai tameng agar ia tetap kuat dan bisa bertahan.

Namun lama-kelamaan ia tidak bisa. Arya merasa dirinya tidak bisa berubah menjadi 'orang lain'. Mungkin ada cara lain. Tiba-tiba saja ia mempunyai ide menyewa seorang wanita untuk dijadikan kekasih sementara, setidaknya membungkam mulut ibunya dan tidak berbicara aneh-aneh lagi. Arya mulai bergerak dan membuka seluruh data karyawan perempuan di perusahaannya. Entah mengapa disaat matanya melihat data Alia, rasanya pas sekali waktu itu. Umur mereka yang sama, status Alia yang masih belum terikat pernikahan, serta dia kelakuan baik di perusahaan.

Dengan gerakan cepat, tanpa basa-basi Arya menyuruh Alia ke ruangannya. Arya berekspektasi kalau gadis itu adalah gadis genit seperti perempuan seumuran mereka kebanyakan, sehingga dengan mudahnya menerima proposal pernikahan dari Arya begitu saja karena yang ada di otak mereka adalah uang dan uang. Tetapi ternyata ia salah, yang ia dapati Alia melongo dan berekspresi bertanya "apa aku sedang dikerjai?" Mulai dari situlah Alia dirasa pantas disandingkan dengannya walau sebentar saja.

"Begitukah?"

"Hm," Arya mengangguk yakin.

"Ah, aku malu sekali kalau mengingat tampangku waktu itu, pasti memalukan dan terlihat bodoh." Alia mulai histeris.

"Sekarang juga begitu."

"Sial!" Alia menonjok lengan pria itu kuat-kuat.

"Sudah sampai." Kata Arya. Arya benar-benar masuk ke basement agar Alia tidak perlu merasa takut sendirian di sana.

"Oh, sudah sampai.." Alia melepas sabuk pengamannya. "Terima kasih untuk hari ini, Arya. Aku senang."

Arya mengangguk. "Ayo ambil mobilmu segera, kita pulang sama-sama mumpung searah. Atau aku akan nekat mengantarkanmu pulang membiarkan mobilmu tinggal di sini."

"Aku tidak mau pakai kendaraan umum ke sini, Arya. Bisa-bisa aku terkena macet dan terlambat. Aku juga tidak suka keringatan, mengerti?"

●●●

Alex merasa suntuk hanya berdua saja di rumah dengan ibunya. Wajahnya tampak suntuk dan ingin keluar tetapi ia tidak punya tujuan. Tiba-tiba saja ia ingin berjumpa dengan Alia. Oh ya sedang apa anak itu sekarang? Apa dia sudah makan? Apa dia sendirian juga dan kesepian seperti dirinya karena tidak ada hal yang mau dikerjakan?

Dreams: Impossible Until it Done (CERITA SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang