Dodici

3.6K 185 1
                                    

Rosaline mendorong Alia pelan untuk duduk di kursi makan tepat di samping Fero dan di hadapan Alex. Wanita itu terlihat bersemangat sekali, membuat Alia tidak rela merusaknya. Suka tidak suka, mau tidak mau gadis itu menenggelamkan sedih, luka, amarahnya sejenak dan kembali memasang topeng tegar.

"Ibu, aku tidak suka kalau terburu-buru seperti ini," komentar Alia setelah mendengar ide pertunangannya dengan Fero.

"Terburu-buru bagaimana, sayang. Ini sudah berjalan empat tahun dan empat tahun bukan waktu yang sebentar."

Alex berdeham pelan, "Alia benar, Tante. Walau pun empat tahun itu belum berarti mereka saling mengenal satu sama lain."

"Apa maksudmu, Alex?" Potong Fero.

Rosaline menggeleng-gelengkan kepala, "hanya pengikat saja supaya kalian tidak bisa lari kemana-mana."

Terlambat, gumam Alex pelan. Bukan. Ini bukanlah terlambat, karena dari awal hubungan mereka sudah salah.

"Baiklah," kata Alia akhirnya, membuat semua mata memandang kepadanya. Rosaline terlihat senang, tatapan Alex benar-benar nanar penuh rasa kekecewaan dan penyesalan, sementara tatapan Fero tak terdefenisikan seperti biasa. Fero memang pandai menjaga emosi hati dan pikirannya lalu berusaha membuat pandangan sebiasa dan sedatar mungkin.

Rosaline tersenyum lalu ia menerima panggilan. Alex berpamitan pulang dan ia tampak sedang berpikir keras menyusun segala skenario untuk Alia dan Fero seapik mungkin. Sementara Alia terdiam masih mematung di mejanya membiarkan Fero meneliti isi pikirannya.

"Fero, kita butuh bicara."

●●●

Alia menarik kursi untuk dirinya sendiri, sama halnya dengan Fero lakukan. Ia membiarkan pria itu memesan minuman untuknya karena Alia sendiri terlalu lelah untuk berpikir dan berbicara.

"Aku tidak tahu harus memulai dari mana," kata Alia datar setelah waitress itu meninggalkan meja mereka.

"Aku juga," jawaban tak terduga, biasanya Fero hanya diam disaat-saat seperti ini. Sedikit terbersit di pikiran Alia, apakah pria itu juga lelah dengannya?

"Setahun belakangan memang ada yang berbeda, aku menyadari itu. Aku berusaha menanggapinya sebaik mungkin dan memperbaiki hal sekecil kerikil pun yang beresiko merusak hubungan kita." Alia menghela nafas dengan berat, "tapi ternyata kau tidak." Tambahnya.

"Aku tidak merasa kau melakukan hal apa pun seolah hubungan ini tidaklah penting, atau di dunia ini ada hal yang lebih penting harus dipertahankan selain aku," perih, bisik Alia.

Kemudian waitress kembali datang membawa pesanan mereka--atau lebih tepatnya pesanan Fero. Obrolan mereka terhenti sampai waitress itu benar-benar pergi.

"Soal di kantorku waktu itu-"

"Bukan itu permasalahannya," potong Alia dengan suara tertahan. Kemudian ia mengingat-ingat Fero tengah berduaan di kantor pada hari Minggu bersama seorang wanita yang Fero bilang adalah klien di lobi kantornya.

Kemudian di cuplikan kedua, Alia teringat Fero tengah bermesraan di toko roti bersama wanita lain, wanita yang berbeda.

Dua hal itu terus berulang-ulang di benak Alia dan membuatnya nyaris gila.

Ada yang mengganjal kata sudut hatinya.

"Wanita yang waktu itu siapa?"

"Yang mana?"

"Toko roti, di sudut dekat lounge, kiss," nafas gadis itu tercekat saat mengatakan kata terakhir.

Fero terlihat tenang menyesap hot lemon tea-nya. "Aku tidak yakin. Mungkin kau salah orang,"

Dreams: Impossible Until it Done (CERITA SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang