Sedici

3K 161 1
                                    

"Mengapa ke sini?" Alia membuka pejaman matanya setelah tertidur di sepanjang perjalanan. Setelah matanya terbuka yang ia dapati adalah sebuah rumah megah berwarna putih berdiri dengan kokoh di depan matanya.

"Aku tidak akan membiarkanmu sendirian di apartemen, jadi tinggallah di sini bersama ibuku untuk beberapa waktu." Kata Arya jelas. Jelas pula itu sebuah pernyataan bukan permintaan, jadi Alia tidak perlu repot-repot menolak.

"Aku bisa tinggal sendiri, aku sudah besar kau tahu?" Memang dasar keras kepala.

Arya tidak menggubris, ia lebih memilih jalan keluar dari mobil dibandingkan berdebat sekaligus buang-buang energi menanggapi kekerasan kepala gadis yang sejak tadi duduk di sebelahnya sepanjang perjalanan.

Alia mendengus sebal, hari ini, terlebih sejak ia masuk rumah sakit, ia merasa seperti boneka. Bukan karena parasnya, tetapi cara orang memperlakukannya. Ia melangkah dengan langkah yang dipaksa-paksa. "Kau tidak membantuku untuk berjalan dan masuk?" Katanya setelah menginjak anak tangga yang ke dua.

"Kalau sudah cerewet berarti sudah sembuh. Kalau sudah sembuh berarti tidak perlu dibantu," jawab pria itu tanpa menoleh sama sekali.

"Kalau tidak perlu dibantu untuk apa kau membawaku kemari?"

Langkah pria itu terhenti kemudian ia berbalik arah. Ia mendesah dan berpikir, sejak kapan gadis di hadapannya ini menjadi menyebalkan? Padahal Arya teringat sekali dulu Alia adalah gadis pemalu dan tidak banyak omong.

Tanpa berpikir dua kali, Arya mengangkat gadis itu dengan mudah lalu membawanya masuk. Bukannya diam, Alia semakin berisik dan suaranya mampu memekakkan telinga.

"Turunkan aku, bodoh!"

Arya tertawa, "kau ingat salah satu syarat lulus bekerja di perusahaanku? Nomor lima, konsisten. Mampu mempertahankan argumennya bla bla bla. Terlalu panjang untuk aku jelaskan. Intinya, aku ragu mengapa kau bisa lulus interview."

"Arya, turunkan aku atau aku akan menggigit lehermu hingga kepala dan tubuhmu terputus!"

"Wow, menyeramkan sekali,"

"Demi Tuhan ibumu sedang melihat kita dari atas!"

Arya berhenti dan melihat ke atas. Benar, Miley tengah melihat mereka dari ruang keluarga di lantai dua seraya tersenyum. Alia bernafas lega akhirnya kekonyolan ini berakhir. Namun ia kembali berkicau histeris karena pria gila itu membawanya ke atas tanpa malu menemui Ibunya dengan keadaan seperti ini.

Demi Tuhan, Alia tidak punya muka lagi.

"Romantisnya," gumam Miley dengan senyuman jahil. Wanita itu meletakkan gelas yang berisi jus jeruk je atas meja lalu duduk di samping Alia.

"Tante, ini hanya kesalahpahaman," kata Alia yang tegang. Digendong Arya tanpa alasan yang jelas baginya seperti di ajak naik roller coaster tertinggi di dunia.

Miley terkekeh.

"Bukannya kau yang meminta bantuanku karena kau merasa sakit?"

Alia ingin mencakar muka pria itu sekarang juga. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu dan membuat Alia yang kehilangan muka menjadi kaku bak patung.

"Kau menyebalkan. Sangat menyebalkan." Gumamnya pelan.

Arya menjulurkan lidah kemudian menggigit browniesnya. Miley hanya bisa menggeleng sekaligus tertawa melihat keduanya yang berdebat seperti anak kecil.

"Alia ayo dimakan, sayang."

"Ibu, sepertinya aku harus ke kantor karena aku ada meeting satu jam lagi. Ngomong-ngomong, Alia, hari ini adalah jadwal meetingku dengan perusahaan Alex, ada yang mau disampaikan padanya?"

Dreams: Impossible Until it Done (CERITA SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang