Quindici

3.1K 174 1
                                    

Alia tidak tahu bagaimana kronologinya, tapi yang pasti sekarang ia berhasil sampai di rumah. Padahal kondisinya jelas-jelas tidak baik-baik saja untuk mengemudi sendirian. Alia menghempaskan tubuhnya dan menyembunyikan kepalanya di sudut sofa kemudian menangis sekencang-kencangnya. Semua terasa begitu berat, ia tidak sanggup.

Semua berawal dari kejadian dua bulan yang lalu.

Berawal dari kematian Tania. Sekaligus dirinya dihadapkan dengan psikologis Alex yang tidak stabil. Di momen yang sama ia mendapati Fero berselingkuh. Ibunya datang dan memintanya untuk ke Italia segera. Dirundung hubungan tidak jelas dan berakhir putus dengan tidak baik-baik. Dan sekarang, Alex menjauhi, menghindari, dan memusuhinya tanpa alasan yang jelas. Ia merasa semua itu tidak adil. Semua masalah datang berentetan seolah dunia sedang memusuhinya.

Semua kronologi kejadian tersebut berputar secara berulang-ulang di benaknya, membuat bathin yang sudah sakit itu ingin mati saja.

Ia butuh sandaran.

Tetapi ia tidak tahu kepada siapa raga yang rapuh itu harus kemana.

Kenapa? Karena tempatnya kembali pulang dan bersandar sudah menganggapnya tidak ada.

Dan kali ini, hanya angin yang mendengarkan kelus kesahnya. Hanya hembusan angin dari jendela luar yang membelai wajahnya, seolah memberi isyarat untuk menghentikan tangisannya. Karena sebanyak apa pun ia menangis, air mata yang tumpah tidak akan mampu mengubah apa-apa. Benar kan?

Alia tidak tahu sudah berapa jam dirinya menangis, tetapi yang pasti ketika retinanya terpaku pada jam lingkaran besar, yang ia dapati adalah jarum pendek jam sudah berada di angka delapan lewat.

Dengan susah payah dan kepala super berat itu akhirnya ia bangun dengan menggunakan kedua tangan sebagai tumpuan. Sekarang yang ia perlukan adalah ketenangan dan angin malam. Matanya menatap bebas keluar dari lantai delapan belas. Menatap ke jalanan yang sibuk dengan dilalu-lalang oleh kendaraan.

Ia hanya berharap malam ini hujan.

Dan hujan akan meredam semuanya, ia harap begitu.

Namun ketika mata yang lelah itu menatap ke atas, langit begitu cerah ditaburi bintang berkilau yang tak terhingga jumlahnya. Alia tak mampu mendefenisikannya, tetapi yang pasti langit sedang mengejeknya dan memintanya untuk cerah seperti bintang saat itu juga.

Itu tidak akan mudah.

●●●

Alia menambah kecepatan treadmill untuk kesekian kalinya. Ia tidak peduli seberapa basah kini pakaiannya dan tubuhnya, bahkan rambutnya benar-benar seperti orang selesai keramas. Lain halnya dengan kaki yang terus bergerak menyeimbangkan alat terserbut, otaknya pula sedang berpikir keras. Semua hal yang terjadi belakangan memang menguras energi ternyata. Dan Alia berhasil melewatinya dengan tidak baik.

Ya, ia terlalu cengeng dengan ini semua.

Seharusnya ia semakin dewasa dan bisa menanggapi masalah dengan kepala dingin.

Dirinya terlalu terbawa emosi.

Ia membuang nafas kasar. Masih terengah-engah karena jantungnya dipacu berkali-kali lipat lebih banyak dari biasanya. Dalam hati ia menyalahkan diri sendiri lagi-lagi.

Mungkin kalau Alia bawa santai dan tanpa perasaan semuanya tidak akan menjadi begini. Lalu haruskah ia berubah sekarang? Di saat semuanya sudah terlambat?

Kembali teringat saat tadi malam ia tertidur di depan jendela. Tiba-tiba saja benda tipis bergetar itu membuatnya tersentak. Ada apa gerangan? Alex mengiriminya pesan. Ada sedikit rasa lega di hatinya, namun setelah pesan itu terbuka, rasa kecewa kembali membuncah di dadanya.

Dreams: Impossible Until it Done (CERITA SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang