"Miserable"

39 2 0
                                    

Hari ini aku kembali sendirian di dalam apartemen. Kakak semakin sibuk dengan pekerjaannya. Sudah seminggu kini ia tak pulang ke rumah, ia ditugaskan untuk ke kantor polisi daerah dan mengharuskannya menginap disana. Awalnya ia sangat enggan untuk pergi, mengingat kondisiku yang belum lama pulih, ia sangat mengkhawatirkanku. Namun, aku bukan lagi seorang anak kecil yang harus selalu ditemani dan membutuhkan bantuan. Aku sudah genap tujuh belas tahun kini dan dapat hidup mandiri. Mendengar penjelasanku yang singkat dan dingin, Kakak tertegun, namun akhirnya sadar bahwa yang kukatakan adalah benar. Ia pun akhirnya memutuskan untuk pergi melaksanakan tugasnya dan meninggalkanku dalam waktu yang tidak sebentar.

Dan kini, sudah genap seminggu Kakak tak pulang ke rumah. Masih belum ada kepastian darinya tentang waktu kepulangannya. Aku pun tak begitu peduli, mengingat keadaanku yang tetap baik-baik saja tanpa Kakak. Walaupun pikiran dan memori aneh tentang sesuatu yang gelap itu kadang-kadang masih menyerang kepalaku, tapi aku tetap baik-baik saja.

Waktu yang kuhabiskan di rumah hanya diisi oleh hal-hal yang tidak penting. Hanya melamun dan diam. Kakak pernah menawarkanku untuk kembali ke sekolah, tapi aku menolak. Aku masih belum siap untuk berinteraksi dengan orang banyak. Belum lagi kini aku tak menyukai berinteraksi dengan orang. Aku lebih memilih diam di rumah dan melamunkan kehidupanku yang begitu menyedihkan dan kelam. Namun, aku sungguh menikmati waktu kesendirianku. Aku,,menyukai suatu kesunyian yang mengitariku. Aku,, suka diriku yang sendiri. Aku,, suka diriku yang tanpa siapapun. Aku sangat,, menikmati waktu kesendirianku.

Suara bel pintu membuyarkan lamunanku di balkon. Aku berbalik, menatap pintu yang tak kunjung terbuka melalui sela-sela tirai pintu balkon. Kakak tak mungkin menekan bel, ia pasti akan langsung membuka pintu dan masuk. Aku menyelidik, memicingkan mataku menatap pintu putih yang tak kunjung terbuka. Bel kedua berbunyi tepat ketika aku baru saja membalikkan badan kembali, mencoba untuk acuh, namun tatapanku kembali berbalik kepada pintu apartemen yang masih tak bergeming.

Aku berjalan pelan menuju pintu dan membukanya. Yang pertama kali kulihat adalah seorang laki-laki berkemeja biru yang tengah merangkul Kakak dengan susah payah. Kakak tampak tak sadar dan berantakan. Indera penciumanku pun dikagetkan oleh bau alkohol yang begitu menyengat. Entah itu dari tubuh Kakak, atau laki-laki yang tengah merangkulnya, atau mungkin dari keduanya. Entahlah. Aku tak begitu mempermasalahkannya.

Tatapanku beralih dari Kakak, ke laki-laki berkemeja biru tadi. "Kau, Han Jung Hee kan?" Aku tertegun, menatap laki-laki berkemeja biru tadi. Tatapanku kosong, dan tubuhku tak bergeming. Aku membeku di tempat tepat ketika laki-laki tadi menyebutkan sebuah nama. Nama yang sudah lama tak kudengar. Nama yang sudah lama tak pernah terucap dari bibir siapapun. Dan kini, aku mendengarnya dengan telingaku sendiri. Yang bisa kulakukan hanyalah diam, mencoba meredam gejolak tubuhku sendiri. Aku menelan ludah dengan paksa, bola mataku goyah, namun aku tetap mengangguk dan mempersilahkannya masuk.

Sudah lama aku tak mendengar namaku sendiri keluar dari mulut orang-orang. Aku sudah terlalu asing dengan tiga kata itu 'Han Jung Hee'. Nama itulah kata yang penuh dengan memori tentang keluarga kecil kami dulu, sebelum kejadian penuh darah itu terjadi. Kini aku bagai sesosok makhluk asing yang datang ke bumi, karena semuanya terasa aneh dan berbeda. Aku seperti tak mengenal diriku sendiri dan juga dunia ini. Kelumpuhan dan juga kebisuan sementaraku telah membuat banyak perubahan dalam setiap komponen diriku. Nama yang dulu penuh rasa cinta dan keceriaan, kini aku justru tak ingin mendengar dan mengakuinya lagi. Namun, berbeda bagi Kakak. Kakak tetap ingin kenangan dan luka dari masa lalu melekat dalam dirinya dan menjadi bagian dalam dirinya. Ia tetap dengan bangga menggunakan namanya, 'Han Jung Han'. Nama pemberian orang tua kami.

Laki-laki berkemeja biru tadi pamit pulang setelah merangkul Kakak sampai ke kamarnya. Ia memperkenalkan dirinya kepadaku sebagai rekan kerja Kakak di kepolisian, aku pun hanya mengangguk pelan menanggapi salamnya itu. Kini tinggal kami berdua di apartemen, aku memandangi Kakak yang tengah tertidur di ranjangnya. Aroma kuat dan khas alkohol terus menyeruak masuk ke dalam indera penciumanku. Baru pertama kali bagiku melihat Kakak pulang dengan keadaan berantakan dan penuh aroma alkohol seperti ini. Rambut yang biasa tertata rapi itu kini sudah jatuh menutupi alis dan matanya. Dasinya berantakan dan longgar, membuatnya tampak seperti orang paling menyedihkan di dunia. Aku pun menyerah untuk mencoba menyelidiki apa yang terjadi dari penampilannya dan pergi keluar dari kamarnya.

Menjelang sore, Kakak pun akhirnya sadar dan terbangun dari waktu istirahatnya. Ia berjalan terseok keluar dari kamar. Setelan jasnya kini terlihat lebih berantakan dari saat ketika ia sampai di rumah. Aku masih berdiri di balkon. Hembusan angin membuat tirai putih semi-transparan di pintu balkon menutupi pandanganku. Yang terlihat jelas hanyalah Kakak yang berjalan terseok menuju dapur, tatapan matanya memancarkan hal lain yang belum pernah kulihat sebenarnya. Senyumnya kandas begitu saja. Aku berlagak tak peduli dari balik pintu kaca balkon, hanya diam menatapnya meneguk air mineral dengan paksa. Hingga, tatapan kami bertemu. Aku memandangnya datar, ekspresiku tak pernah berubah semenjak kepulihanku, sepertinya ada yang salah dengan otot wajahku, karena hanya ekspresi datar sajalah yang bisa wajahku tampilkan.

Pandangan kami bertemu selama beberapa detik. Tatapanku masih sama, tanpa emosi, dan tanpa ekspresi. Sedangkan Kakak, pancaran yang diperlihatkan matanya tampak berbeda dari biasanya. Ada semacam,, sulut api di balik matanya. Dan, tentu aku tak mau mengobarkannya menjadi api dengan menuangkan minyak tanah disana, sehingga aku diam menatapnya yang membuang muka dan pergi keluar apartemen. Aku tetap diam di tempat, menatap pintu putih yang tertutup dengan dingin dan membalikkan badanku, kembali menatap jauh melalui balkon.

Aku, merasa aneh.

Aku, seperti tak mengenal diriku sendiri,

Mengapa aku seakan-akan tidak peduli pada Kakak?

i'm sorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang