"Drunk Confession"

23 1 0
                                    

Aku berbaur dalam lautan manusia di jalanan Seoul malam ini. Kedua tanganku terselundup di dalam saku mantelku. Aku mampir untuk membeli minuman kaleng sebentar sebelum kembali ke apartemen. Otakku mempertanyakan keberadaan Kakak saat ini. Entah ia sudah pulang, ataupun masih berkelana sendirian, namun aku sesungguhnya tak begitu peduli. Tapi saat ini aku sangat malas untuk bertemu dengannya. Ditambah lagi perilaku anehnya semenjak kemarin membuat daftar alasanku untuk tak bertemu dengannya semakin banyak.

Mirisnya, aku tetap berakhir di depan pintu putih apartemen kami. Aku menekan kode dan masuk. Pandanganku bertemu dengan tatapan Kakak yang menatapku dari meja makan yang menghadap langsung ke arah pintu masuk. Untuk sesaat tatapan Kakak tak dapat kubaca, jauh di dalam matanya aku masih dapat melihat sulutan api yang siap menyala kapan saja, tapi aku tak dapat mengartikan tatapan dari sudut matanya yang lain. Aku pun memutuskan untuk membuang muka dan berjalan menuju kulkas untuk kemudian menaruh minuman-minuman kaleng ke dalamnya.

Aku berniat untuk masuk ke kamar, namun langkahku berhenti ketika Kakak membuka suara. "Kau tahu?" Aku tak bergeming, posisiku kini membelakangi Kakak yang tengah memainkan gelas berisi bir di meja makan, aku menunggu Kakak mengucapkan kalimat selanjutnya. "Oppa sedang menunggumu." kata-kata Kakak barusan terasa ganjil, aku tak mengerti apa yang ia maksud dan apa arti di balik kata-katanya barusan. Aku berbalik, mendapati Kakak yang mabuk memainkan gelas birnya. Ia menunduk, memperhatikan bir yang tinggal setengah. Aku tak mengerti, apa maunya?

Kakak mengangkat kepalanya, pandangan kami bertemu kembali. Namun, kali ini sulutan api dalam matanya sudah berkobar. Aku tak terkejut sama sekali, karena pada dasarnya sebuah sulut api sangat mudah untuk terbakar. "Apa yang kau maksud?" aku berbicara datar, dengan tatapan malas ke arahnya. "Dari mana saja kau?" nada bicara Oppa berbeda, intonasinya sedikit meninggi, ia menanggapi pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan lain. "Oppa tak lihat? Aku membeli beberapa minuman." aku menjawab dengan sedikit sinis. Aku benci orang mabuk, karena semua yang dikatakan oleh orang mabuk melantur dan menjengkelkan. "Kau tahu? Oppa mengkhawatirkanmu!" dan kobaran apinya kini mengenaiku. Baru pertama kali aku melihat Kakak yang marah-marah seperti ini. Namun, tak ada rasa takut dalam diriku. "Aku hanya pergi sebentar!" dan dengan bodohnya aku malah menuangkan minyak tanah pada kobaran api. "Apa? Apa katamu barusan?!" Kakak bangkit sambil menggebrak meja. Suara decitan kursi yang terdorong ke belakang pun terdengar jelas. "Sudahlah aku tak ingin berdebat." Aku membalikkan badan, namun Kakak kembali berhasil menghentikan langkahku. "Oppa mengkhawatirkanmu! Oppa selalu mengkhawatirkanmu! Apa kau tahu itu?!" Teriakan dengan intonasi tinggi itu cukup mengejutkanku. Tapi apa yang sebenarnya Kakak maksud. Aku tak mengerti sama sekali ucapannya barusan. Kenapa tiba-tiba ia membicarakan tentang kekhawatirannya terhadap diriku?. Aku berbalik untuk kedua kalinya. "Apa maksud Oppa?" Aku bertanya sinis. "Kenapa kau selalu membuat Oppa khawatir?! Kenapa kau selalu membuat Oppa tak fokus?!" Teriakan nyaring itu kembali keluar dari mulut Kakak. Aku semakin bingung, sungguh menjengkelkan berada dalam sebuah pembicaraan seperti ini. "Kenapa Oppa menyalahkanku? Itu urusanmu sendiri! Aku selalu baik-baik saja! Oppa saja yang berlebihan!" Aku semakin jengkel, emosiku mulai naik tahap demi tahap, menghasilkan intonasi yang keluar dari bibirku tak kalah tinggi dari intonasi Kakak. "Apa? Jadi maksudmu itu salah Oppa?!" mata Kakak menatapku dengan penuh amarah. Aku masih tak mengerti kenapa dia marah karena hal sepele seperti itu. Kakak menarik kembali kursinya, lalu duduk. Ia tertawa miris, sambil meringis ditengah kemabukannya. "Hhh, huh. Kau benar-benar mengganggu hidupku. Kekhawatiran berlebihanku tentangmu membuatku sering kehilangan fokus. Kesabaranku kini sudah terkuras habis untukmu. Kau sudah berkali-kali mengahancurkan hidupku," Kakak menggantung kata-katanya, tatapannya terfokus pada gelas bir di hadapannya. Ia tersenyum miris, matanya sayu dan tampak menyedihkan. Ia mendesah keras. Aku mengerutkan kening, bingung dengan tuturan katanya barusan. Apa yang ia maksud? Aku hanya diam, menunggu ia melanjutkan kalimatnya. "Aku sudah terlalu sabar dalam menghadapi keanehan dalam dirimu sejak setahun terakhir ini! Mulai dari kelumpuhanmu dan kebisuan sementaramu, itu membuatku harus banting tulang sendirian dan harus mengasuh dirimu yang tak bisa apa-apa. Aku memang merasa lega saat kau akhirnya pulih, namun kenapa aku malah merasa lebih khawatir setelah kau pulih?! Aku selalu kehilangan fokus saat melakukan pekerjaanku karena mengkhawatirkanmu. Dan kini, aku gagal dalam sebuah misi besar karena mengkhawatirkanmu! Apa kau tahu betapa frustasinya aku saat gagal dalam misi penting?! Apa kau tahu betapa bencinya aku terhadap dirimu?!" Kakak menatapku dengan penuh amarah, kobaran apinya kini kembali mengenaiku. Badannya menegang dan matanya memerah. Namun satu yang kini aku tau pasti, semua perilaku anehnya berasal dari kegagalannya dalam misi penting yang tadi ia sebutkan. "Kau sudah terlalu mabuk." aku membalikkan badan untuk kesekian kalinya, ingin segera mengakhiri pembicaraan yang tak berarti ini. "Kau tahu? Aku begitu frustasi dan marah pada diriku! Tapi terlebih lagi, aku sangat marah padamu! Kenapa kau harus hadir dalam hidupku?!" aku berhenti tepat di depan pintu kamarku. Aku menoleh, menatap Kakak dengan datar, namun tajam. "Baiklah, aku akan pergi dari hidupmu. Anggap aku tak pernah hadir dalam hidupmu, Oppa." entah mengapa malam itu lidahku begitu tajam, dan tanpa penyesalan mengucapkan kalimat-kalimat yang seharusnya tak boleh kuucapkan.

Aku berderap masuk ke kamar, mengambil tas ranselku dan memasukkan baju secukupnya serta persediaan uangku dengan cepat. Aku melangkah keluar tanpa melirik Kakak. Tak ada setitik pun penyesalan ataupun rasa takut atas keputusan yang baru saja kubuat.

Sudah kubilang kan, aku sudah tidak normal.

Aku merasakan sebuah jiwa baru dalam ragaku. Namun jiwa itu membuatku lebih senang dan lebih puas. Dan tentu saja, aku lebih menyukai diri dan kepribadianku yang sekarang.

"Baiklah, sekarang, aku harus kemana?"

i'm sorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang