"no hint(2)"

18 1 0
                                    

Junghan menyandarkan tubuhnya pada kursi dan menatap dengan penuh fokus ke arah monitor komputer di depannya. Dagunya bertumpu pada telapak tangan kanannya, dan jari telunjuknya mengetuk-ngetuk bibir bagian bawahnya. Rambut lurusnya jatuh tepat di atas alisnya, membuatnya terlihat sedikit berantakan, sedangkan kemejanya kini sudah tidak terkancing pada bagian atasnya, serta lengan kemejanya sudah tergulung hingga tepat berada di bawah siku.

Sebuah cup kopi yang tidak berisi sedikit memberikan sentuhan hiasan pada meja kerjanya. Dua anggota timnya pun melakukan hal yang sama, semuanya hanya fokus kepada layar monitor masing-masing dan penampilan mereka terlihat berantakan.

Baru beberapa jam yang lalu ia mendapat kasus yang memiliki kesamaan dan hubungan dengan kasus pembunuhan di lorong. Kedua kasus itu memiliki cara membunuh yang hampir sama dan, tanda tangan pembunuh yang sama. Bau alkohol dan ukiran di balik telinga itulah, tanda tangan yang ditinggalkan oleh pembunuh untuk para penggemarnya, yaitu para polisi. Karena polisi sungguh mencintai para penjahat hingga mereka terus mengejarnya dan ingin mengetahui segalanya tentang mereka. Polisi adalah, penggemar nomor satu para pelaku kejahatan di luar sana. Dan, pelaku pada kasus ini juga menggunakan teknik membunuh yang hampir sama, yaitu melumpuhkan korbannya terlebih dahulu dengan sebuah tusukan, sebelum pada akhirnya menghabisi korbannya dengan cara yang lebih fatal. Namun, diantara kesamaan-kesamaan yang ada pada dua kasus ini, ada satu kesamaan yang Junghan benci yaitu, keduanya sama-sama tidak memiliki petunjuk.

Sudah beberapa jam ini Junghan dan timnya bekerja memeriksa kamera pengawas di sekitar lokasi kejadian, maupun kamera pengawas di jalanan. Namun semuanya hanya menunjukkan pelaku yang berjalan di bawah bayang-bayang gedung dan berpenampilan begitu lengkap dan tersembunyi, sehingga mereka tak dapat mengidentifikasikannya. Black box pada taksi pun telah lenyap, membuat Junghan dan timnya lagi-lagi tak memiliki petunjuk. Dan, tak ada DNA ataupun bekas identitas pelaku yang tertinggal di lokasi kejadian, maupun pada barang-barang bukti yang ditemukan. Semuanya bagaikan lenyap di telan bumi.

Junghan menghela nafas dengan kasar dan sedikit mendorong kursinya dari meja, membuat kedua anggota timnya menoleh padanya. "Ada apa ketua tim?" Kedua anggota timnya bertanya bersamaan, namun Junghan hanya diam. Matanya terfokus pada satu titik namun tatapannya diisi kekosongan. Membuat kedua anggota timnya semakin bingung terhadapnya. "Em, hyung?" Kali ini Junghan sedikit tertegun mendengar panggilan dari anggota timnya, dan pada detik berikutnya Junghan tersadar, "Eoh, ahh tidak, aku hanya memikirkan sesuatu." Junghan memandang kedua anggota timnya bergantian dan memberikan isyarat bahwa ia benar-benar baik saja. "Aku akan keluar mencari udara segar." Junghan meraih jasnya dan berjalan keluar meninggalkan kedua anggota timnya yang masih kebingungan dan juga meninggalkan kantor kepolisian pusat.

Semilir angin sore menyambut permukaan kulit wajahnya. Angin membuai itu menerpa kulitnya dengan lembut, membuatnya sedikit merasa lebih baik. Namun, kasus kali ini benar-benar membuatnya hampir putus asa. Semua beban yang ia terima dan rasakan belakangan ini membuatnya terus merasa tertekan dan penat. Stressnya selama ini seperti mengadakan sebuah pertemuan di dalam kepalanya hingga membuat Junghan hampir kehilangan kendali. Junghan berjalan pelan di trotoar, kakinya sedikit limbung namun ia tetap berjalan walaupun sedikit terseok. Matanya terasa berkunang-kunang, ia sedang tidak dalam keadaan normal saat ini. Tekanan beban dan pikiran itu kembali menyerangnya, membuat ingatannya memutarkan kembali kejadian-kejadian yang ia alami belakangan ini. Ledakan itu kembali terputar di dalam pikirannya, dan wajah berparas lembut nan cantik milik kekasihnya itu menghampiri lembar-lembar memorinya, membuat kepalanya berdenyut. Junghan limbung, kepalanya berdenyut terlalu keras, membuatnya mencengkram rambutnya sendiri, menahan rasa sakit dari dalam kepalanya itu. Ia berjalan terseok, mencoba mencapai tujuannya. Namun, ingatan lain kembali terputar dalam pikirannya, kali ini, kejadian pada malam terakhir ia melihat adiknya. Bayang-bayang ingatan punggung adiknya yang berjalan meninggalkannya, membuat Junghan semakin mencengkram erat rambutnya. Kali ini ingatan tentang kejadian yang penuh perdebatan itu terus terputar di dalam ingatannya, dirinya yang tengah di bawah pengaruh alkohol, tatapan adiknya yang begitu datar, dan juga, kata-kata adiknya yang begitu dingin terhadapnya. Penat di kepalanya semakin menjadi, membuat Junghan kembali limbung, namun kali ini, ingatan tentang sesuatu yang sudah terlalu lama terjadi, malam penuh darah itu.

Sekilas ingatan tentang kejadian naas hari itu menghampiri ingatannya, sengatan kilat yang ditimbulkan memori lama itu membuat Junghan sukses terjatuh di trotoar. Namun, kali ini memori lain menghampirinya. "Alkohol? Tali, sepatu? Dan, alam?" Kepala Junghan kembali berdenyut. Badannya telah kehilangan setengah kekuatannya, namun Junghan masih berada di antara kesadarannya. Namun lagi-lagi, kepalanya kembali menggema, menyebutkan hal-hal tentang kasus yang ia tangani,

"Apa? Alkohol? Tali, sepatu? Alam? Tunggu dulu, kenapa rasanya terasa begitu familiar? Tunggu dulu, ada yang..." Hati Junghan menggumamkan sesuatu, namun semuanya tak dapat rampung karena, badannya telah menyerah lebih dulu, badannya memutuskan untuk, tidak bekerja sama dengan isi hatinya,

Junghan, tak sadarkan diri.


i'm sorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang