"the third show"

19 2 0
                                    


Suara langkahku kini terdengar jelas memenuhi lorong. Aku mulai memakai sarung tangan hitamku sembari melangkah mendekati bibir lorong. Sayup-sayup kudengar suara angin malam mengalir halus memasuki liang telingaku. Hawa dingin yang menusuk dapat kurasakan perlahan merambat melalui tengkuk leherku. Tampaknya, para penikmat sekaligus saksi dari pertunjukanku kini telah duduk manis dan siap untuk menyaksikan lanjutan dari acaraku.


Aku dapat merasakan darahku mengalir lebih cepat dan mengalirkan hormon adrenalinnya memenuhi setiap sel-sel tubuhku, membuatku bersemangat dan semakin tertantang. Langkahku terhenti di bibir lorong. Cahaya lampu jalan yang menyinari sebagian tubuhku telah mengukir sebuah siluet indah nan misterius yang terpampang jelas dibatu-batu trotoar. Melihatnya saja membuatku begitu puas.


Aku kembali melangkah, mempertemukan alas kakiku dengan batu-batu trotoar dan menciptakan suara ketukan pelan disetiap langkah yang kuambil. Tentunya aku tetap berjalan di bawah naungan bayangan gedung-gedung dan berusaha untuk tak berurusan dengan kamera pengawas yang begitu menjengkelkan.


Langkahku kini tertuju kepada sebuah halte bus yang telah aku targetkan sebagai tempat pertunjukan ketigaku. Alasan terbesarku memilihnya adalah karena tidak ada kamera pengawas yang dapat menjangkaunya sehingga bagiku ini adalah 'tempat sempurna'. Mataku terus bergerak cepat menyisir jalanan yang kulewati, memastikan bahwa semua toko telah tutup dan tak akan ada 'saksi mata'. 


Aku pun berhenti. Di depanku kini telah terpampang jelas halte bus yang baru saja kubicarakan. Lampu jalan redup yang meneranginya terlihat menyedihkan. Aku menyandarkan diri kepada pintu sebuah toko yang telah tutup yang berada tepat di belakang halte bus itu. Tubuhku berselimutkan bayangan kanopi toko, mencoba menyembunyikan keberadaanku di dalamnya.


Aku menunggu kedatangan bus terakhir yang bertugas sebagai kurir antar korbanku malam ini. Setiap detik yang berlalu bagaikan sebuah hitungan mundur bagiku sebelum benar-benar membuka tirai panggung dan memulai pertunjukan. Senyuman miring kini mulai terukir perlahan dibalik maskerku ketika sayup-sayup dapat kurasakan gelombang suara mesin bus merayap masuk ke dalam telingaku. Aku menghela napas kasar. Mataku mulai bergerak memperhatikan sesosok makhluk Tuhan yang baru saja turun dari bus itu, seorang pelajar perempuan. Senyuman miring yang terukir di balik maskerku kini dipenuhi aura kepuasan sebelum akhirnya bergumam pelan,


"Selamat, kau menang undian malam ini"


Tubuh yang berbalutkan seragam berwarna cokelat tua itu masih sibuk dengan ponselnya sejak ia turun dari bus. Matanya yang terfokus pada layar bening itu tak akan pernah menyadari pergerakanku yang kini mulai melangkah perlahan mendekatinya. Tangan kananku kini menggenggam erat sebuah pisau lipat yang bersembunyi di balik saku jaketku. Aku mengambil posisi tepat di sampingnya, dan detik berikutnya bilah tajam itu telah mendekam di tubuh bagian kirinya, menembus lapisan kain yang membalut tubuhnya kemudian merobek kasar permukaan kulitnya hingga akhirnya bertemu dengan organ dalamnya.


Dalam seketika tubuh itu pun runtuh. Matanya menyiratkan sebuah permintaan belas kasih dan bibirnya bergerak pelan membentuk sebuah kata-kata bisu yang meminta pertolongan. Aku tertawa sinis di dalam hatiku, semilir angin yang menyapu halus tengkuk leherku bagaikan sebuah tanda apresiasi dari sang langit malam, membuatku kembali merasa tertantang. Aku menarik kembali bilah pisau itu dan melipat serta menyembunyikannya kembali ke dalam saku jaketku.


Kini jemari kiriku yang mengambil giliran bermain, mengeluarkan sebuah kabel headset dari dalam saku jaket bagian kiri dan mulai memanjangkannya. Kedua tanganku kini mulai menggulung kedua ujung headset itu dan mengencangkannya. Akupun mengambil posisi di belakang tubuh yang tergeletak lemah itu, dapat kudengar dengan jelas nafas pendeknya yang tersengal-sengal dan semakin dramatis. Aku memejamkan mataku sejenak, mencoba untuk menikmati suara nafasnya yang bagaikan sebuah melodi di telingaku, senyum miring yang sempat berganti menjadi senyum kepuasan itu kini telah kembali hadir di balik masker hitamku. Aku mulai melilitkan kabel headset di tanganku mengitari lehernya. Dapat kurasakan tubuhnya sedikit tersentak ketika kabel itu menyentuh permukaan kulitnya dan menghalangi jalur pernapasannya, tangannya yang lemah pun mencoba menggapai-gapai tanganku yang berada tepat di samping kepalanya. Namun sayang, dalam darah yang mengaliri tubuhku kini tak ada bulir-bulir belas kasih yang tersisa, semuanya telah lenyap begitu saja.


Aku mendengus pelan dan kembali menghadirkan senyuman miring di balik maskerku. Aku menarik kabel headset itu tanpa jeda. Membuat nafas yang tadinya tersengal-sengal itu menjadi sebuah cicitan kecil yang terus menerus tertahan. Aku dapat melihat rontaan kecilnya. Kakinya bergerak-gerak dan bergesekan kasar dengan batu-batu trotoar, sementara jemarinya mencoba untuk menarik dan menyingkirkan lilitan kabel yang memonopoli lehernya dan, nyawanya.


Ketika rontaan itu telah berhenti, aku pun melepaskan tarikanku dari kabel headset yang mengitari lehernya. Tubuhnya sudah benar-benar tak berdaya sekarang. Samar-samar aku pun dapat melihat garis merah yang tercipta dari lilitan kabel mengitari lehernya. Kuturunkan masker hitamku sedikit, menampakkan batang hidungku dari sana. Aku menghirup nafas dalam-dalam, mencoba memanjakan hidungku dengan bau anyir yang kembali membuatku tersenyum puas.


Disaat kepuasan itu telah memenuhi tubuhku, aku pun bangkit. Tanganku bergerak mencoba mendudukkan tubuh kaku itu dan menyandarkannya pada bangku halte. Kabel headset yang masih terlilit longgar di lehernya kubiarkan mengantung dan menjuntai bagaikan kalung yang memperindah tampilannya. Kemudian tangan kananku kembali masuk ke dalam saku jaketku, mengeluarkan pisau lipat yang masih berhiaskan cairan kental berwarna merah yang tampak segar. Aku memandangnya sejenak sebelum akhirnya mulai menggoreskan ujung tajamnya ke permukaan kulit milik tubuh yang terduduk kaku di depanku, tepatnya ke permukaan kulit telinga bagian belakangnya.


Aku kini tak hanya mengukir satu huruf, melainkan dua huruf sekaligus. Meninggalkan lebih banyak luka sayatan di permukaan kulitnya. Inilah cara yang pikiran gilaku pilih sebagai jalan keluar dari rencana 'meringkas'ku. Tubuh yang sudah tak bisa kukendalikan ini pun tak punya pilihan untuk menolak dan mau tak mau bergerak melakukannya dengan sukarela. Walaupun harus kuakui, aku menikmati setiap detail prosesnya.


Aku pun bangkit, pisau lipat itu kini sudah kembali tersimpan di dalam saku jaketku. Tanganku bergerak membuka resleting jaketku, mengeluarkan sebuah botol soju dari dalam sana. Suara tutup botol yang terbuka terdengar bersamaan dengan terciumnya bau khas alkohol yang cukup menyengat Aku menuangkan setiap tetesnya ke tubuh berbalut seragam di depanku. Bagaikan parfum, kini tubuh itu telah bermandikan bau alkohol.


Kini, persembahan lainnya telah siap, aku kembali merelakan nyawa itu kepada sang langit malam, dan dengan begitu pertunjukan ketigaku pun kini telah selesai dengan sempurna. Semua itu ditandai dengan bau anyir darah yang bercampu rdengan bau khas alkohol yang kini telah menguap mengisi kekosongan langit malam. Aku menatap hasil pertunjukan malam ini sekali lagi, sebelum akhirnya melangkah menjauh dengan penuh kepuasan dan sebuah senyum kesinisan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 15, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

i'm sorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang