"nightmare"

26 1 0
                                    

Junghan berjalan di antara tembok-tembok tinggi yang mengapitnya. Junghan berjalan dengan bingung dan frustasi. Telapak tangannya kerap meraba tembok-tembok tinggi itu. Badannya terus berbalik memastikan tak ada sesuatu di belakangnya.

Junghan mengangkat kepalanya, mencoba menemukan sesuatu di atasnya, mencoba menemukan, jalan keluar? Namun, ketika ia sibuk menolehkan kepalanya ke segala arah, jalan lurus di depannya kini membuatnya semakin frustasi. Jalan itu tak lagi satu jalur, jalan itu kini, bercabang.

Junghan memainkan jemarinya dan menggigit bibir bawahnya, mencoba berpikir dengan keras untuk memilih. Gerak badan Junghan terlihat gelisah. Kakinya kerap bergerak dan mencoba memilih langkahnya dengan ragu. Hingga akhirnya Junghan memilih jalan di kanannya.

Junghan melangkah dengan sedikit tidak stabil, badannya terus merapat pada tembok di kanan-kirinya. Hingga ketika ia sudah cukup jalan memasuki lorong kanan itu, tiba-tiba kepalanya merasakan pening luar biasa dan memorinya terputar bebas tanpa perintah, memori tentang adiknya dan kejadian malam itu, dan juga kejadian tentang, orang tuanya. Junghan sempoyongan, badannya tak dapat berdiri dan melanjutkan berjalan. Dan kini, tembok-tembok yang mengapitnya berubah bagaikan layar teater dan memutarkan wajah adiknya, dan kedua orang tuanya, membuat Junghan hampir terjungkal. Dengan sekuat tenaga Junghan melangkah mundur, mencoba keluar dari lorong kanan itu. Badannya terus terjatuh dan kepalanya bagaikan dihantam benda yang keras. Junghan berusaha untuk keluar dari lorong kanan itu walaupun tertatih.

Kini Junghan kembali ke persimpangan itu. Ia mencoba berdiri lagi, dadanya naik turun, nafasnya pun tak teratur, kini tangannya tengah memegangi dadanya, mengikuti irama naik-turun yang tak teratur itu, nafasnya berderu dan terdengar sangat jelas menggema memenuhi ruang udara di antara tembok-tembok yang mengapitnya. Hingga Junghan pun tenang dan dapat kembali mengendalikan dirinya, barulah Junghan mulai melangkahkan kakinya lagi. Kini, ia memilih lorong di sebelah kirinya.

Kakinya melangkah ragu, dirinya pun dalam keadaan waspada penuh terhadap apapun. Pakaian yang ia kenakan pun kini telah basah oleh keringat, sedangkan pelipisnya terus menerus mengalirkan keringat. Namun, ditengah kewaspadaannya, kejadian itu berulang. Otaknya mengalirkan memori-memori tanpa perintah, namun kali ini, memori tentang kekasihnya. Junghan limbung dan menabrak tembok di sampingnya. Gema suara kekasihnya kini memenuhi seisi lorong, membuat Junghan memegang erat kepalanya dan mencoba menutup telinganya. Mata Junghan terpejam erat, dan tanpa sadar ia menggeram dan merapatkan giginya, kemudian mulai berteriak layaknya orang tak waras dan berlari keluar dari lorong kiri. Namun, ketika kembali ke persimpangan itu. Otaknya semakin menggila, ketiga memori tentang adik, orang tua, dan kekasihnya itu bagaikan menyerbunya dan datang dari kedua lorong dan menghantamnya yang berdiri di antara persimpangan itu.

Junghan jatuh terduduk dan terus berteriak bagaikan orang hilang kendali. Sekeras apapun ia mencoba menutup telinga dan matanya, namun otaknya tetap saja memutarkan memori-memori itu di dalam benaknya. Membuat Junghan semakin hilang kendali.

"AAAKKKK!" Junghan tersadar. Kemeja putihnya basah oleh keringat, nafasnya pun berderu tak teratur, dadanya naik turun dan matanya terlihat merah. Junghan melihat sekelilingnya dengan penuh kepanikan. Namun, ketika ia melihat dirinya dalam balutan selimut di kamarnya sendiri, Junghan bernafas lega. Ia mengusap dahinya sendiri dan memejamkan matanya, mencoba tenang setelah diterjang mimpi terburuk dalam hidupnya.

Junghan menoleh dan mendapati pantulan dirinya sendiri yang tengah terduduk di kasurnya pada cermin panjang di pojok kamarnya. Junghan memutar otaknya, mencoba mencari alasan kenapa mimpi buruk itu menghampirinya, "Han Jung Hee, kau, dimana?" Junghan melamun dan bergumam kecil, namun lamunannya itu dibuyarkan oleh pintu kamarnya yang terbuka. Taesoo dan Woojin, anggota timnya memasuki kamarnya dengan berkas kasus yang terselip di antara jemari keduanya, namun ketika mereka melihat Junghan yang tersadar, mereka bergegas mencari tempat duduk di sebelah Junghan.

"Hyung, ada apa denganmu?" Taesoo bersuara, "Hanya, sedikit lelah, tak usah khawatir," Junghan menjawab enteng. "Tapi, keadaanmu terlihat mengkhawatirkan hyung," Woojin menambahkan, berkas di tangannya kini sudah direbut oleh Junghan. "Sudahlah diam, aku baik-baik saja." Junghan menjawab acuh, namun detik berikutnya ia menoleh dan menatap tajam Woojin dan Taesoo bergantian, "Tapi, bagaimana kalian bisa masuk ke apartemenku?" Keduanya tersenyum kikuk, namun menjawab bersamaan "Kami minta petugas apartemen untuk membukakannya, hehehe" Junghan menggulung berkas kertas di tangannya dan memukul Woojin dan Taesoo bergiliran, membuat mereka sedikit meringis, "Sudah kubilang kan jangan masuk apartemenku sembarangan." Ucap Junghan yang kini sudah kembali sibuk dengan berkas kasus di tangannya. "Iya, iya. Tapi hyung, memangnya di dalam apartemenmu ada apa?" Junghan tertegun, namun ia tak mengangkat kepalanya, matanya tetap sibuk pada berkas kasus yang tengah ia bolak-balikkan halamannya. "harta karun" Junghan menjawab singkat kemudian menyibakkan selimut yang menutupi kakinya dan bangkit. "Nah sekarang, kalian keluar dari sini dan kembali ke kantor, aku akan menyusul." Junghan menarik lengan Woojin dan Taesoo yang masih duduk di atas ranjangnya dan mendorong mereka hingga ke pintu depan. "Hati-hati ya," detik berikutnya pintu apartemen Junghan sudah tertutup tepat di depan hidung keduanya.

"Hampir saja," Junghan bergumam dan menghela nafas lega, kemudian berjalan masuk ke kamar mandi.


i'm sorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang