"Being Controlled"

34 1 0
                                    

Sampai pukul delapan malam pintu apartemen masih tak bergeming. Aku masih sendri di dalam apartemen ditemani oleh suara-suara angin yang kubiarkan masuk dari pintu balkon. Aku duduk di meja makan sambil memainkan gelas berisi air yang isinya tinggal setengah. Kakiku saling beradu dengan lantai, menimbulkan suara ketukan nyaring yang menggema di dalam apartemen. Mataku menatap lurus ke arah air yang tenang jernih, namun pikiranku menerawang jauh kepada ingatan yang berantakan dan gelap. Hari dimana aku mengalami kejadian misteri itu. Sekelebat pikiran tentang hal gelap itu terus mengisi setiap sel-sel di tubuhku, membuatku kembali menerawang mengingatnya. Untuk beberapa saat aku diam.

Aku bangkit tepat ketika hembusan angin meraba permukaan kulitku dengan kasar. Tubuhku sedikit tersentak karena perubahan suhu yang tiba-tiba, namun detik berikutnya aku segera mengambil mantel serta topi hitamku dan pergi keluar apartemen.

Aku memutuskan untuk menyelidiki kembali kejadian hari itu.

Aku berjalan menyusuri jalan menuju restoran pasta malam itu. Kepalaku tertunduk memandangi batu-batu trotoar yang kulalui satu persatu. Sepatu casual hitam bertali yang kupakai berjalan seirama hingga aku sampai tepat di depan restoran pasta malam itu. Aku diam di depannya, tak bergeming untuk sesaat. Aku tak mempunyai niat untuk masuk ataupun meninggalkannya. Untuk beberapa saat ingatan tentang aku yang keluar sambil terseok menyusup memasuki otak dan pikiranku. Namun disaat yang sama kepalaku terasa amat sakit seperti sebelumnya. Aku mencengkram mantel yang kupakai dan berusaha menahan rasa sakitnya kali ini. Aku tak akan membiarkan rasa sakit ini mengendalikanku untuk yang kedua kalinya di tempat yang sama.

Aku, kembali seperti ini. Penglihatanku mulai berbayang dan memudar, pendengaranku berdengung nyaring dan membuat akalku kosong dan menerawang. Denyut jantungku berdentum cepat. Keringat dingin mengalir begitu saja dari dahiku dan membasahi sebagian wajahku. Aku menelan ludah dengan paksa. Urat-uratku menegang, menampakkan garis-garis biru pada permukaan kulitku. Namun, kali ini aku dalam keadaan sadar. Aku masih dapat merasakan kesadaranku walaupun rasanya sebagian jiwa dan ragaku dikendalikan oleh hal lain.

Kakiku berjalan terseok, aku kembali seperti layaknya orang mabuk. Aku menurunkan topi hitamku agar orang-orang tak melihat wajahku. Seoul malam ini tetap sama, ramai dan sibuk. Namun aku terus berjalan mengikuti arah kedua kakiku, hingga sampailah aku pada sebuah lorong sempit dan pengap yang berada sedikit jauh dari restoran pasta. Kakiku berjalan masuk hingga aku berdiri di bibir lorong itu dan tertutup oleh bayang-bayang dua gedung yang mengapitnya sehingga wujudku tak terlihat dari luar. Aku diam, meneliti lorong tempatku berdiri. Bau khas saluran air sungguh menyengat di sini. Aku mendelik, memperhatikan sebuah garis polisi yang mengitari salah satu sudut lorong yang berujung buntu. Aku ingin mendekatinya, namun kakiku sedang diluar kendaliku saat ini sehingga yang bisa kulakukan hanyalah diam dan menatap kosong ke arah sudut gelap itu.

Aku bingung,

Aku frustasi,

Tapi aku, senang?

i'm sorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang