"case" (author's pov)

19 1 0
                                    

Semilir angin dari balkon apartemen Junghan merambat masuk menggelitik kulitnya. Matanya masih setengah terbuka, ia meraba mencari jalan menuju dapur untuk mengambil air. Kaos lengan panjang kebesaran yang dikenakannya membuatnya terlihat begitu malas dan lesu. Ia mengusap berkali-kali kelopak matanya yang masih setengah tertutup. Kemarin ia baru menerima hukuman dan sanksi karena kegagalan misinya. Ia dibebas-tugaskan selama satu minggu untuk merenungi kegagalannya. Begitu pula dua anggota timnya yang tersisa. Ketiganya sama-sama dibebas-tugaskan selama satu minggu.

Sejujurnya Junghan lebih memilih untuk bekerja. Karena dengan bekerja ia akan dengan mudah melupakan kejadian dan kegagalan besar itu. Karena dengan bekerja pikirannya akan menjadi sibuk dan tidak mempunyai waktu untuk kembali larut dalam penyesalannya. Junghan menatap nanar gelas berisi air dingin di depannya. Ia duduk dalam diam dengan berbagai macam pikiran melintasi kepalanya. Ia membutuhkan sesuatu untuk dikerjakan agar ia dapat cepat menghilangkan pikiran-pikiran liar yang terus berkecamuk di dalam otaknya.

Junghan tampak begitu menyedihkan dengan rambut yang berantakan dan kantung mata yang membengkak. Ia layaknya mayat hidup dengan tatapan yang kosong. Ia seketika terlonjak hingga hampir terjatuh dari tempat duduknya ketika ponselnya bergetar dan menampilkan nama "Kepala Kepolisian" dibalik layar beningnya. Ia menjawabnya dengan penuh semangat dan penuh harap. Mulutnya terus bergerak-gerak menanggapi obrolan dari balik sambungan telepon. Dan tepat ketika telepon ditutup, ia bergegas masuk ke kamar mandi dengan handuk tergantung di pundaknya. Sambungan telepon yang baru terputus itu merupakan panggilan dari Kepala Kepolisian yang membatalkan hukumannya dikarenakan kantor kepolisian kini kekurangan anggota karena ada banyak sekali kasus penting yang masuk, sehingga Junghan dan anggota timnya diminta datang untuk membantu sekarang juga.

ini, Junghan tengah sibuk memakai kemeja putih dan jas hitamnya di depan cermin. Ia bahkan tak sempat sarapan karena tubuhnya kini dikendalikan oleh semangat yang begitu bergejolak di setiap urat dan nadinya. Ia bergegas mengambil kunci mobilnya dan menerjang jalanan kota Seoul pagi ini. Setiap komponen penyusun dalam tubuhnya kini terus menyerukan energi baru. Junghan sudah bertekad keras bahwa ia tak akan larut dalam kesedihan dan akan tetap menjalankan kehidupan ini dengan biasa. Namun, ada satu hal yang seharusnya ia tak lupakan dan yang seharusnya menjadi prioritas utamanya,

Nasib adiknya, Han Jung Hee.

Pagi itu, sayangnya Junghan kembali tak peduli pada nasib adiknya. Sejak ucapan selamat tinggal yang keluar dari mulut adiknya itu terucap, Junghan sudah memutuskan untuk tidak mempermasalahkan nasib dan kehidupan adiknya lagi.Bahkan, hanya untuk memikirkannya saja pun ia merasa segan. Ia seakan melepas tanggung jawabnya begitu saja. Ia merasa sudah terlalu muak dengan tanggung jawab terhadap adiknya yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya seumur hidup. Junghan seakan lupa bahwa adiknya memiliki nasib yang lebih buruk darinya, ia seakan lupa bahwa adiknya masih memiliki trauma yang mengalir di dalam setiap tetes darahnya, trauma yang begitu mengerikan.

Junghan memarkirkan mobilnya di halaman parkir kantor kepolisian pusat. Langkahnya yang tegas dan badannya yang tegap berjalan berirama memasuki gedung kepolisian pusat. Tujuannya adalah ruang Kepala Kepolisian. Ia memberi hormat dengan sigap dan siap menerima tugas dan tanggung jawab barunya. "Tim investigasi khusus yang kau pimpin tidak akan mendapat anggota baru. Aku tak akan merekrut anggota baru untuk tim-mu," ucap Kepala Kepolisian sambil menyodorkan file kasus terbaru yang harus Tim Junghan tangani dan selidiki. Mata Junghan menatap file itu sejenak, merasa tak percaya bahwa ia kembali bekerja secepat ini, Ia sedikit mempertimbangkan keadaan timnya yang kekurangan pasukan, namun ia tetap menyanggupinya. Ia mengambil file dalam map hitam itu dan memberi hormat sebelum berjalan keluar menuju meja kerjanya.

Junghan menarik nafas dalam-dalam sebelum menghampiri anggota timnya. Suasana aneh bercampur dengan suasana sedih masih terasa kental diantara ketiganya. Namun, mereka bertiga kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa kepolisian masih membutuhkan mereka. Mereka bertiga tetap harus melanjutkan hidup bagaimana caranya, walaupun mereka harus terus memakai perban guna menutupi luka mereka yang masih terasa perih dan tak kunjung mengering. Junghan membuka pembicaraan diantara ketiganya. Membahas file kasus yang tengah ia pegang saat ini. Ia mulai menjabarkannya dengan fokus dan keseriusan yang terukir di garis-garis wajahnya.


Kasus yang harus timnya selidiki saat ini adalah sebuah kasus, pembunuhan.

i'm sorryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang