S2 - part 36

318 25 2
                                        

Sudah dua bulan berlalu sejak kepulangan mereka dari rumah sakit pasca insiden yang cukup menguras emosi. Apartment mereka kini benar-benar terasa seperti rumah, dengan pemandangan kota yang menenangkan, tanaman-tanaman kecil yang mulai tumbuh di sudut jendela, dan suasana tenang yang selama ini mereka impikan.

Christian sudah kembali bertugas di Angkatan Laut. Meski sekarang pangkatnya sudah naik menjadi Letnan, Muthe tahu, yang namanya pengabdian pada negara tetap berarti harus siap kapan saja, bahkan saat pagi belum sempat menyeduh teh untuk suaminya. Tapi Muthe sudah terbiasa—ia menikmati kesibukan rumah, memasak, menulis jurnalnya, dan sekali-sekali menerima kunjungan dari Matthew, Aldo, Freon, dan Justin, sahabat-sahabat Christian yang semakin akrab dengan kehidupan mereka.

Namun, dalam beberapa minggu terakhir, Muthe mulai merasakan hal yang agak berbeda dari biasanya. Bukan cuma mual di pagi hari, tapi juga tubuhnya terasa cepat lelah, penciumannya jadi terlalu sensitif, dan… entah kenapa, dia jadi gampang sekali tersentuh. Lihat iklan susu bayi aja bisa bikin nangis. Padahal itu iklan yang sama yang pernah ia ledek karena dramanya berlebihan.

Suatu pagi, Christian sedang sibuk bersiap di depan kaca, menyusun lencana di seragam barunya. Muthe duduk di meja makan, diam-diam memperhatikan wajah suaminya yang tenang dan fokus.

"Sayang, kamu yakin gak mau aku anter hari ini?" tanya tian sambil memeriksa dasinya.

Muthe menggeleng cepat. "Enggak, aku di rumah aja hari ini. Mau beberes lemari," katanya sambil tersenyum tipis, menyembunyikan degup jantung yang sejak semalam susah dikendalikan.

Tian mendekat, mencium kening istrinya, lalu merapikan rambut Muthe yang agak berantakan. "Jangan terlalu capek, ya."

"Iya, Letnan," jawab Muthe dengan senyum yang dipaksakan santai.

Begitu pintu apartemen tertutup dan suara langkah kaki tian hilang di lorong, Muthe langsung berdiri. Ia mengambil tas, mengecek ulang ponsel, dan memesan taksi online dengan tujuan rumah sakit yang biasa ia kunjungi. Ini bukan kali pertama ia ke sana. Tapi kali ini rasanya... jauh lebih mendebarkan.

---

Duduk di ruang tunggu dengan tangan menggenggam tas erat-erat, Muthe berusaha menenangkan diri. Ia bahkan sempat membuka YouTube, berharap bisa teralihkan oleh video masak ayam geprek, tapi malah jadi tambah mual.

Akhirnya namanya dipanggil. Ia berdiri cepat, berjalan masuk ke ruang dokter dengan jantung nyaris copot.

"Duduk sini, Bu Muthe," sapa dokter perempuan muda yang ramah. "Katanya sudah beberapa hari ini mual-mual ya? Dan telat haid hampir sebulan?"

Muthe hanya mengangguk, lidahnya mendadak kelu.

"Baik, kita USG ya. Biar lebih jelas."

Beberapa menit kemudian, layar kecil di sebelah kanan mulai menunjukkan gambaran samar. Dokter mengarahkan alatnya pelan, lalu mengerutkan dahi sebentar, sebelum akhirnya tersenyum lebar.

"Selamat ya, Bu... sepertinya Ibu hamil. Usianya baru lima minggu."

Deg. Dunia Muthe seakan berhenti sebentar.

"Ha-hamil?" gumamnya pelan. Air matanya tanpa sadar menggenang. Tangannya menutupi mulut. "Beneran, Dok?"

Dokter mengangguk sambil tersenyum, lalu menuliskan resep vitamin dan beberapa larangan makanan.

Muthe pulang dengan kepala masih terasa melayang,Dia belum bisa percaya sepenuhnya. Bayangannya langsung melayang ke tian. Reaksi suaminya. Wajahnya waktu mendengar kabar ini. Apakah bakal kaget? Senang? Nangis juga?

Ia memutuskan untuk tidak bilang dulu lewat chat. Ia ingin melihat langsung ekspresi tian.

---

Begitu pintu apartemen terbuka dan suara khas sepatu boot Christian bergema ringan di lorong, Muthe yang sejak tadi mondar-mandir sambil menahan senyum gugup langsung berdiri tegak di depan dapur. Tangannya masih menggenggam test pack yang tadi ia sembunyikan di balik bantal sofa. Wajahnya campur aduk—deg-degan, bahagia, bingung, takut salah ngomong, tapi juga udah gak sabar. 

mas mas AAL ( chrismuth ) s1+s2 ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang