S2 - part 30

275 24 4
                                        


Apartemen itu sudah jauh berbeda dari sembilan bulan lalu. Dindingnya dipenuhi foto USG yang ditempel Muthe dengan selotip bening, ada juga kertas-kertas catatan kecil berisi pesan pendek buat Tian. Di meja makan, bertumpuk botol vitamin, susu hamil, dan kotak kecil berisi pakaian bayi mungil berwarna putih biru.

Muthe duduk di sofa, perutnya yang besar ia elus pelan. “baby, sebentar lagi kita ketemu, ya. Papa kamu masih jauh, tapi kamu jangan khawatir. Dia pasti pulang. Kita tunggu sama-sama.”

Ponselnya bergetar. Nama Tian muncul di layar. Dengan susah payah Muthe bangkit, lalu menjawab panggilan itu.

“Halo?” suaranya bergetar, antara lega dan panik.

“Sayang…” suara Tian terdengar serak, lebih jelas dari biasanya. “Akhirnya sinyal lumayan stabil. Kamu gimana? Perut kamu udah gede banget ya sekarang.”

Muthe ketawa kecil, matanya berkaca. “Iya, Yan. Gede banget. Aku jalan aja susah. Kadang kaki bengkak, tapi ya gitu deh, semua rasa capeknya hilang kalau aku bayangin anak kita.”

"maafin aku ya sayangg. Aku nggak ada di samping kamu. Aku kepikiran terus. Kalau bisa, aku pengen banget usap perutmu tiap malam.”

“Kamu jangan minta maaf. Aku ngerti. Tugas kamu itu bukan main-main, nyawa taruhannya. Aku bangga banget sama kamu.”

Tian terdiam sejenak. Lalu suaranya terdengar bergetar. “Aku pengen banget ada di sana, nemenin kamu kontrol, denger langsung detak jantung bayi kita. Tapi ya… semua cuma bisa lewat suara.”

Muthe tersenyum, walau air matanya jatuh. “Suara kamu aja udah bikin aku kuat. Aku sering tempelin ponsel ke perut, biar bayi denger suara ayahnya. Kadang dia nendang, seolah ngerti.”

"aku kangen banget…” Tian menarik napas berat. “Kamu sekarang udah berapa minggu?”

“Udah masuk 39. Tinggal nunggu waktu aja.”

“Hah? Serius? Jadi bisa kapan aja, dong?” suara Tian terdengar panik. " astaga aku jauh banget. Gimana kalau—”

“Jangan panik dulu, Aku udah siapin semuanya. Mama juga siap kalau aku tiba-tiba kontraksi. Tenang.”

“Tapi aku nggak tenang, The! Aku harus ada di sana!”

Muthe diam sebentar, lalu berkata pelan, " kamu nggak perlu maksain. Kalau Allah izinin, kamu bakal ada di sini. Kalau nggak, aku yakin kamu tetep hadir lewat doa. Aku udah siapin rekaman suara kamu buat aku puter nanti di ruang bersalin.”

Tian terisak tertahan.

“kamu jangan nangis. Anak kita nggak boleh lahir dengar suara ayahnya nangis, nanti dikira ayahnya cengeng.”

Tian ketawa kecil, di sela tangisnya. “Dasar kamu, selalu bisa bikin aku ketawa.”

Mereka terdiam cukup lama, hanya mendengarkan nafas masing-masing. Muthe menutup mata, seakan jarak ribuan kilometer itu hilang.

“Aku janji, The,” ucap Tian akhirnya. “Kalau semua lancar di sini, aku bakal pulang. Aku mau ada di sana waktu anak kita lahir.”

“Kalau nggak bisa?” tanya Muthe pelan.

“Kalau nggak bisa… aku tetep bakal ada di hati kamu, di hati anak kita. Kamu jangan pernah merasa sendirian. Ingat itu.”

Keesokan harinya, Muthe bangun dengan perasaan aneh. Perutnya kencang, rasa sakit datang bergelombang. Ia duduk di tepi ranjang, menahan nafas.

Mama Eli yang tidur di kamar sebelah langsung terbangun mendengar suara Muthe. “The?! Kamu kenapa?”

“Ma… perut aku sakit banget… kayaknya kontraksi…”

mas mas AAL ( chrismuth ) s1+s2 ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang