Malam itu langit begitu jernih. Bintang-bintang seolah turut merayakan bahagia dua insan yang baru saja resmi menjadi suami istri Christian dan Muthe. Dentuman kembang api menyambut akhir acara pedang pora, memercikkan warna-warni yang memantul di permukaan laut tak jauh dari pelataran pangkalan Angkatan Laut tempat acara digelar.
Christian menggenggam tangan Muthe erat, matanya berbinar penuh haru dan bangga. Di sekelilingnya, sahabat-sahabatnya—Aldo, Justin, Freon, dan tentu saja sang kembaran dari istri tercinta, Matthew masih ramai bercanda, menggodai, dan membicarakan masa depan yang penuh tanda tanya, tapi mereka tahu satu hal malam ini adalah titik awal dari perjalanan yang indah.
~~~
Setelah keramaian mulai reda, dan para tamu satu per satu berpamitan, Christian dan Muthe duduk di bangku panjang dekat dermaga kecil. Angin laut meniup lembut rambut Muthe yang kini tertutup selendang lembut putih. Christian meraih tangan istrinya, menatap wajah perempuan yang telah menemaninya dari sebelum pangkat, sebelum kehormatan, sebelum semua orang tahu namanya.
“Mut... kamu bahagia?” tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan tertiup angin malam.
Muthe menoleh, mengangguk pelan. “Banget... kamu tahu nggak, aku tuh dulu takut kalau kita nggak bisa bareng. Waktu kamu berangkat pendidikan, aku pikir... kamu bakal berubah.”
Tian terkekeh, lalu mencium punggung tangan Muthe. “Kalau berubahnya ke arah makin cinta, iya. Tapi ninggalin kamu? Nggak pernah ada niat.”
“Aku percaya sekarang.” Muthe bersandar di bahu Tian. “Apalagi waktu kamu lamar aku hari itu... bener-bener bikin deg-degan, padahal kamu cuma pake seragam, bukan jas, tapi auranya ngalahin cowok-cowok drakor.”
“Ya iya lah, sku kan calon aktor sinetron,” goda Tian.
“Calon bapak anak-anak aku, maksud kamu.”
Mereka berdua tertawa kecil. Diam-diam, Zean dan Marsha memperhatikan dari kejauhan, tersenyum haru. Marsha menyenggol lengan Zean, “Dulu kamu juga gitu waktu lamar aku, ingat nggak?”
“Beda,” ucap Zean datar. “Aku lebih deg-degan dari Christian. Tangan aku sampai gemeter.”
“Ya... emang kamu duluan nembak aku juga pas lagi makan bakso, bukan acara resmi.”
“Yang penting sekarang kita udah bareng.”
~~~
Keesokan harinya…
Acara kecil diadakan di rumah keluarga besar Christian, sebagai lanjutan resepsi internal. Suasana akrab lebih terasa. Ada musik akustik, ada meja prasmanan di halaman belakang, dan tentu saja ada keramaian yang tak pernah redup kalau genk mereka berkumpul.
Matthew, tentu saja, lagi-lagi jadi pusat perhatian.
“Gue udah nanya tadi sama Christy,” bisik Matthew ke Justin yang sedang duduk santai sambil ngemil risoles.
“Dan?”
“Dia bilang, ‘ntar aja, Matt, aku masih pengen lihat kamu jadi cowok mapan.’”
Justin melirik ke arah Christy yang sedang ngobrol sama Muthe dan Marsha. “Ya... itu kode jelas lah. Lo kerja bener dulu, jangan tiap hari nangis melulu kalo liat saudara lo nikah.”
“Gue sensitif, bro.”
“Gue sensitif juga kalo liat saldo tinggal lima ribu, tapi nggak tiap hari gue nangis.”
Tiba-tiba Freon datang sambil bawa minuman. “Bro, ngomongin masa depan? Nih gue udah dapet info lowongan di markas pusat, lo mau ikut?”
Matthew langsung berdiri tegap. “Siap, demi masa depan cerah bersama Christy!”
