Hari ke-24.
ALRI 907 mulai bergeser dari koordinat patroli terakhir, perlahan tapi pasti, menuju dermaga utama di Tanjung Uban. Mesin kapal berbunyi rendah, seperti mendesah lega setelah berminggu-minggu berjaga dalam diam, dalam waspada. Angin pagi masih menggigit, tapi kali ini tidak lagi membawa ketegangan melainkan tanda pulang. Di geladak atas, Christian berdiri memandang ke ufuk. Tangannya memegang rel besi yang dingin, tapi dadanya terasa hangat.
Letnan Aran muncul di sampingnya, membawa dua cangkir kopi hitam dalam botol kaleng bekas sarden. “Ini,” katanya pendek, menyodorkan satu. Christian menerimanya, lalu menyeruput pelan.
“Akhirnya ya,” gumam Aran. “Tiga minggu yang rasanya kayak satu musim penuh.”
Christian mengangguk. “Tapi juga terasa cepat. Kita kayak gak berhenti siaga dari hari pertama.”
Dari bawah, suara Doni memanggil, “Hei! Siapa yang nulis nama di helm gua pake spidol pink?”
Aran menahan tawa. “Wah. Itu kerjaan prajurit baru tuh. Balas dendam karena dia disuruh bersihin toilet darurat dua hari.”
“Gua tahu lo yang suruh!” teriak Doni dari bawah
Christian dan Aran tertawa lepas, Untuk pertama kalinya dalam tiga minggu, suara tawa itu tidak terhalang waspada. Mereka seperti anak-anak yang akhirnya dibolehkan pulang setelah main terlalu lama.
Sore hari, kapal sudah mulai mendekat ke pelabuhan.
Pakaian dinas mereka sudah disetrika sempurna. Sepatu dibersihkan. Rambut disisir lebih rapi dari biasanya. Tidak ada perintah protokoler untuk itu semua anggota melakukannya secara otomatis. Karena yang menunggu di dermaga bukan hanya petugas pelabuhan. Tapi ada orang-orang terpenting dalam hidup mereka. Dan semua ingin terlihat layak disambut.
Christian berdiri di baris paling depan. Jantungnya berdebar pelan, tapi dalam irama yang berbeda. Bukan karena gugup, tapi karena rindu yang kini berubah jadi nyata. Ia menggenggam helm tempurnya erat-erat di sisi kanan. Di dadanya, name tag "LETNAN CHRISTIAN.BALADEWA" sedikit memantulkan cahaya matahari yang mulai turun.
“Gua harap Muthe dateng,” bisik Aran di sampingnya.
Christian tersenyum. “Gua yakin dia dateng.”
Di kejauhan, dek pelabuhan makin jelas. Lalu, seperti fatamorgana yang berubah jadi nyata, sosok-sosok kecil mulai tampak. Beberapa wanita melambai, ada yang menggendong anak, ada yang mengacungkan kertas bertuliskan nama. Di tengah mereka, Christian melihat seseorang yang ia kenal dengan sangat baik,Muthe. Berdiri agak ke belakang, dengan sweater warna biru tua dan wajah menahan senyum. Tangan kirinya membawa tas kecil, tangan kanan melindungi rambut dari angin.
Christian tidak bisa menahan senyum, Nafasnya menggantung sesaat.
Saat kapal bersandar dan aba-aba turun diberikan, langkah Christian cepat, tapi tetap dalam barisan resmi. Setelah barisan bubar, dia baru benar-benar berlari.
“Mut!” panggilnya.
Muthe hanya sempat membuka mulut sebentar sebelum Christian sudah sampai di hadapannya dan langsung memeluknya. Pelukannya dalam, seperti seseorang yang akhirnya bisa bernapas setelah terlalu lama menahan udara di bawah laut.
“Gila kamu ya,” bisik Muthe pelan sambil menyandarkan kepalanya di bahu Christian. “Tiga minggu aku kayak orang gila nunggu kabar...”
Christian tidak menjawab, Ia hanya memeluk lebih erat.
“Aku bawa cilok, sama puding roti. Kamu pasti kangen yang manis-manis,” lanjut Muthe sambil mencoba melepaskan diri sedikit
“Tapi gak ada yang lebih manis dari kamu,” jawab Christian cepat, membuat Muthe langsung mencubit pinggangnya.
