Pesawat Hercules C-130 yang membawa tim kecil mereka menderu rendah di atas langit Tanjungpinang, lalu mendarat mulus di pangkalan udara milik TNI AL. Suasana masih pagi, langit mendung, tapi udara lembap mulai merayap. Begitu pintu belakang terbuka dan ramp diturunkan, Christian, Aran, dan Doni melangkah turun bersama para teknisi kapal dan satu perwira penghubung. Langkah mereka tegap, tapi mata masing-masing menyimpan beban yang belum bisa dibagi.
“gue udah bilang ke Muthe tadi pagi,” ucap Christian lirih saat mereka sedang menunggu mobil transportasi di pinggir landasan. Suaranya kalah oleh deru baling-baling.
“Dia nangis?” tanya Doni sambil mengangkat alis.
“Nggak. Tapi matanya cerita banyak.”
Aran menepuk punggung Christian pelan. “Istri yang kuat biasanya diem. Tapi itu juga yang paling bikin kita ngerasa bersalah ninggalin mereka.”
Christian hanya mengangguk, menatap jauh ke arah gudang logistik, seakan mencoba mengusir semua bayangan Muthe dari pikirannya. Tapi justru ingatan tentang istrinya makin jelas aroma rambutnya waktu dipeluk, cara ia tertawa pelan waktu Christian salah naruh kunci, bahkan cara Muthe duduk diam sambil menatap lantai saat ia bilang akan pergi.
Hari pertama di Tanjungpinang penuh koordinasi. Mereka menginap di barak sementara, briefing dari pagi sampai malam. Tugas mereka adalah memastikan keamanan dan pengawalan logistik strategis yang akan dikirim ke Natuna lewat jalur laut. Satuan kecil mereka bertugas mengawal kapal utama, sekaligus menyelidiki laporan soal kapal asing tak dikenal yang masuk terlalu dekat ke jalur ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia).
Letnan Aran bertugas sebagai wakil teknis keamanan jalur. Doni,yang sudah senior dalam hal medan operasi laut jadi semacam pengawas lapangan. Christian sendiri diandalkan sebagai pemimpin regu darat, dengan tugas koordinasi tim patroli yang akan menyebar di titik-titik sensitif sebelum kapal induk masuk wilayah Natuna.
Semuanya bergerak cepat.
Tapi malam hari, saat barak mulai hening dan obrolan rekan-rekan mulai mereda, Christian mengeluarkan ponsel. Tak ada sinyal. Ia keluar barak, jalan ke arah belakang, mencari titik yang bisa menangkap jaringan. Akhirnya, satu batang sinyal muncul. Ia buru-buru mengetik.
“Sayang, aku sampai. Semuanya baik-baik. Gak bisa lama nulis karena sinyal jelek. Tapi aku pikirin kamu terus. Tiap saat.”
Beberapa menit kemudian, jawaban masuk.
“Aku baik juga. Rumah kosong, tapi gak sepi. Aku masak buat dua orang tadi, lalu sadar kamu gak duduk di meja. Tapi gapapa. Aku tunggu kamu, Chris.”
“Aku bisa bayangin itu. Peluk virtual dulu ya.”
“Aku peluk kamu lebih dari itu. Jaga dirimu. Jangan main heroik, Letnan.”
Christian menutup layar pelan. Ada hangat yang muncul di dada, meski langit malam begitu sunyi dan angin laut mulai naik ke pinggir barak.
Empat hari kemudian, mereka naik kapal cepat ke Natuna. Laut cukup tenang, tapi awan menggumpal di kejauhan. Setibanya di kapal utama,ALRI 907, sebuah kapal besar bermuatan logistik dan tim medis,mereka langsung disambut Komandan Kapal, seorang perwira senior dengan sorot mata tajam.
“Wilayah ini mulai sensitif. Ada radar yang nangkap sinyal kapal asing diam-diam bergerak malam hari. Kalian, patroli tiap malam, siang bantu pemetaan dan jaga perimeter. Christian, kamu pegang sektor selatan. Aran sektor barat. Doni mutar terus antar tim.”
Malam pertama di atas kapal, Christian berdiri di dek atas, mengenakan jaket dinas, teropong di tangan. Laut gelap membentang tanpa ujung. Angin menusuk, ombak berdebur pelan. Tapi di hatinya hanya ada bayangan Muthe,apakah dia sudah tidur, apakah dia sedang membaca buku, apakah dia menatap langit seperti dirinya sekarang?
