S2 - part 39

206 18 0
                                        

Beberapa hari setelah kehebohan kedatangan keluarga di apartemen, suasana mulai normal kembali. Tapi tenang itu tidak bertahan lama.

Sore itu, Tian duduk di ruang tamu dengan wajah tegang, memegang ponselnya yang baru saja ia letakkan di meja. Muthe yang baru keluar kamar, masih dengan sweater longgar, langsung menyadari ada yang berbeda.

"Kamu kenapa? Kok mukanya kayak habis dimarahin komandan?" tanya Muthe sambil duduk di sampingnya.

Tian menghela napas panjang. "aku dapet kabar barusan. Aku harus berangkat lagi."

Muthe berhenti sejenak. "Berangkat... maksudnya tugas?"

Tian mengangguk. "Iya. Tugas laut. Nggak sebentar. Bisa berbulan-bulan. Dan... aku nggak tahu kapan bisa balik."

Muthe terdiam. Air jahe yang masih hangat di tangannya tiba-tiba terasa hambar. "Kapan berangkatnya?"

"Lusa."

"Cepet banget..." bisiknya, matanya mulai berkaca.

Tian meraih tangan Muthe. "Aku juga nggak nyangka secepat ini. Aku tahu kamu lagi hamil muda, lagi butuh aku. Tapi aku nggak bisa nolak. Ini tugas negara, The."

Muthe mencoba tersenyum, meski jelas senyum itu rapuh. "Aku ngerti... cuma... aku takut sendirian."

"Aku nggak akan biarin kamu sendirian. Ada Mama Papa, ada Matthew, ada keluarga kamu, ada temen-temen juga. Dan aku... aku bakal kabarin kamu tiap ada sinyal. Janji."

Muthe menarik tangannya sebentar, menunduk. "Tapi aku pengen kamu ada pas anak kita lahir"

Tian terdiam lama, lalu menatap Muthe dengan mata berat. "Aku juga pengen. Aku bahkan nggak bisa bayangin nggak ada di samping kamu. Tapi kalau aku belum bisa pulang... aku cuma minta satu hal."

"Apa?"

"Jangan pernah ngerasa sendiri. Karena aku selalu ada di sini" Tian menepuk dada Muthe pelan, tepat di atas jantungnya. "Meskipun tubuhku nggak ada di samping kamu."

Muthe nggak tahan lagi. Air matanya jatuh, tapi ia langsung menyandarkan kepala ke bahu Tian. "Aku benci perasaan ini."

"Aku juga," jawab Tian lirih.

Malam sebelum keberangkatan, Tian sibuk menyiapkan tas dinas. Seragam, perlengkapan laut, dan beberapa barang pribadi sudah tersusun. Muthe duduk di ranjang, hanya memperhatikan diam-diam.

"Kamu nggak bawa foto aku?" Muthe tiba-tiba nyeletuk.

Tian menoleh dan tersenyum kecil. "Ngapain? Muka kamu kan udah nempel di kepala aku. Setiap merem aja yang kebayang kamu terus."

"Gombal."

"Beneran. Lagian aku bakal kangen kamu tiap detik kok, nggak butuh foto lagi."

Muthe tertawa tipis, meski matanya masih merah habis nangis. "Aku juga bakal kangen. Janji ya, jangan bandel di laut. Jangan suka begadang."

"Aku prajurit laut, The, bukannya mahasiswa ngekos. Mana bisa ngatur jam tidur seenaknya."

"Ya atur aja. Kalau sakit gimana?"

"Ada tim medis."

"Kalau kedinginan?"

"Ada selimut."

"Kalau kangen aku?"

Tian terdiam sebentar, lalu menghampiri Muthe, duduk di sampingnya, dan menggenggam tangan istrinya erat. "Kalau itu, nggak ada obatnya. Kecuali pulang cepat."

Muthe tersenyum kecil, menahan isak. "Aku bakal tungguin."

Dua hari kemudian, pagi buta, Tian berseragam lengkap, siap berangkat. Muthe ikut mengantar sampai depan apartemen.

mas mas AAL ( chrismuth ) s1+s2 ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang