Sejak resmi menikah, di apartment yang mereka tempati mulai terasa seperti dunia tersendiri bagi Christian dan Muthe. Hari-hari mereka kini dipenuhi banyak hal baru belajar hidup bareng, saling menyesuaikan kebiasaan aneh masing-masing, dan tentu saja... ribut soal hal-hal sepele yang ternyata penting.
Siang itu, Muthe baru saja selesai menyapu ruang tamu, sementara Christian sibuk di depan lemari sepatu. Tangannya menyortir satu per satu, wajahnya kusut seperti habis mikir soal strategi perang laut.
“Sayang… kamu ngeliat sepatu dinas aku yang hitam enggak?” tanya Tian sambil berlutut di depan rak sepatu.
“Yang sol-nya udah mulai ngelupas itu?”
“Iya, itu.”
“Ya ampun, itu udah aku simpen di dalam box biar nggak bikin rak ini berantakan. Harusnya kamu seneng dong, istrimu rapi.”
Christian bangkit sambil bawa satu sepatu di tangan kanan, satu lagi di tangan kiri. “Rapi sih rapi… tapi kenapa sepatunya malah dimasukin ke box berlabel alat pel?”
Muthe berdiri di ambang pintu dapur, nyengir sambil megang sapu. “Itu box bekas. Reuse, recycle. Gak ada yang bilang isinya harus pel, kan?”
Christian geleng-geleng. “Berarti nanti kalo aku masukin sandal ke box bekas mie instan, jangan salahin kalau kamu jadi pengen makan pas buka.”
“Yaudah, situ masukin aja. Tapi jangan salahin kalo nanti sandal kamu disangka topping bakso.”
Obrolan mereka gak pernah bener dan justru itulah yang bikin mereka betah bareng. Di tengah kesibukan kecil itu, mereka belajar untuk nggak ambil pusing soal hal-hal sepele, tapi juga nggak ngelewatin tiap momen buat bercanda.
Setelah urusan sepatu selesai, Christian nyusul Muthe ke dapur. Perempuan itu berdiri di depan kompor, mengaduk sesuatu yang harum. Sesekali ia mencicip, lalu berkomentar sendiri.
“Kurang garam… atau kurang cinta?”
Christian langsung berdiri di belakangnya, melingkarkan tangan ke pinggang Muthe. “Kalau soal cinta, jangan khawatir. Aku udah siap sumbang full satu sendok makan.”
Muthe ngakak “Yakin? Jangan-jangan yang kamu sumbang malah kecap asin.”
“Eh, kecap asin itu juga bentuk cinta, tahu? Bikin makanan jadi lebih… kompleks.”
“Ya kayak kamu. Bikin hidup aku kompleks.”
Christian mencium pelan rambut Muthe sebelum mengambil piring dan bantu menyiapkan meja makan. “Tapi kompleks yang kamu nikmatin kan?”
“Banget”
Saat makan, obrolan mereka ngalir ke banyak hal, mulai dari temen-temen yang nge-DM ucapan selamat di Instagram, sampai rencana liburan ke luar kota kalau nanti Christian dapet cuti. Tapi yang paling lama dibahas adalah... tisu gulung.
“Sayang, kenapa tisu gulung di kamar mandi kamu taruh dari arah luar, bukan dari arah dalam?”
Christian mengangkat alis “Emang kenapa? Kan tetap keluar juga?”
Muthe meletakkan sendoknya, menatap Christian seolah itu adalah perdebatan hidup dan mati “Kalau dari arah dalam, dia lebih praktis ditarik,Lebih rapi, Lebih… estetik.”
Christian menatap istrinya sambil nahan tawa “Estetik? Mut, itu tisu, bukan lukisan.”
“Prinsip rumah tangga kita harus dari hal kecil dulu, mulai dari tisu!”
“Oke, oke,” Christian mengangkat tangan. “Mulai sekarang tisu harus keluar dari dalam,Demi keharmonisan negara.”
“Terima kasih, Kapten.”
