15 | Arvin (1)

13.8K 2K 104
                                    

***

"Tama! Kenapa nilaimu tiba-tiba hancur seperti ini?"

Nyonya Pitta masih terlihat memegang buku bersampul biru-sepulangnya dari acara pembagian rapor di sekolah. Dia tengah berjongkok untuk menyamai tinggi lawan bicaranya yang masih kecil.

"Tama nggak mau jadi anak pintar," jawab anak kecil berkacamata itu dengan penuh keyakinan. Ia sudah tidak tahan dengan segala pikiran yang berkecamuk di dalam mindanya. Ia ingin sesekali ibunya mau mengerti dan berhenti menyalahkan perbuatannya.

"T-Tama?" ucap Nyonya Pitta terbata. Ada yang tidak beres dengan Tama, anaknya.

"Tama nggak mau punya nilai bagus! Tama nggak mau punya teman lagi!" ucapnya berurutan. Sekalipun ia ingin menjelaskan semua isi kepalanya yang campur aduk, namun hanya kalimat-kalimat bodoh itu yang muncul dari mulutnya.

Mata ibu dari anak tunggal tersebut seketika berair. Ia mengurungkan kembali tangannya yang semula terangkat hendak memberikan pelajaran kecil pada Tama. Lantas segera dipeluknya anak kecil itu, berharap dia akan menarik kata-katanya yang terdengar menyakitkan. Apakah ini mencerminkan keadaan anaknya di sekolah? Tapi mengapa harus tiba-tiba?

"Tama. Kalau kamu bodoh, kamu tidak bisa menjadi dokter seperti ayah," ucap Nyonya Pitta sambil mengusap rambut Tama yang hitam dan lebat.

"Biarin! Tama juga nggak lagi mau jadi dokter!" ujar Tama masih dengan nada dongkol, dan segera melepaskan pelukan ibunya dengan serampangan. Ia kini berlari menuju kamarnya di lantai atas.

Kali ini Tama tidak menangis seperti biasanya. Ia sudah memutuskan untuk menjadi orang lain mulai dari sekarang. Dia tahu ada yang salah dengan dirinya.

Tikus tanah berpenglihatan buruk; si Pecundang yang cengeng; anak lemah seperti perempuan; bayi tua Mama; ia bahkan sudah akrab dengan semua julukan itu. Dan segera kembali terlintas di benak Tama, wajah teman-teman di sekolah yang mengerumuninya sambil tertawa dan meneriaki julukan itu satu per satu.

"Tama, turunlah, Nak! Papamu pulang." Suara nyonya Pitta dari lantai bawah pun menyadarkannya dari lamunan.

Walaupun hatinya masih berantakan, akhirnya Tama keluar juga dari kamar itu. Ia ingin menemui papanya yang bagaikan satu milenium tidak pernah pulang. Kemudian dia ingin memintanya untuk berhenti saja dari pekerjaan itu. Ia tidak peduli mereka miskin dan tak mampu membelikan mainan lagi untuk Tama. Yang penting mereka bisa berkumpul bersama seperti dulu lagi. Dan Tama juga tidak ingin melihat mamanya murung setiap kali mereka membicarakan ayahnya.

Tama melewati lantai atas yang memiliki pagar putih setinggi telinganya di dekat anak tangga. Lantainya terbuat dari bahan kayu sintetis, yang terasa dingin ketika telapak kaki Tama menyentuhnya. Rumah itu memiliki warna dominan abu-abu putih dengan aksen coklat gelap. Beberapa minggu lalu, rumah itu telah direnovasi untuk menjadikannya terlihat lebih sesuai dengan tahun Z-50 yang kental dengan kesan minimalisnya.

Tama berhasil sampai di lantai bawah. Namun ia terhenti dikala matanya melihat sesosok anak yang terlihat sangat asing. Anak itu sepertinya seumuran dengan Tama. Rambutnya aneh, berwarna ungu dan bergelombang. Kulitnya putih dengan mata merah yang sedikit menakutkan. Dan anak itu sudah duduk-memainkan kaki kecilnya yang terjuntai bebas di kursi meja makan-bersama dengan Nyonya Pitta yang mengajaknya berbincang-bincang.

Nyonya Pitta yang menyadari kehadiran Tama, segera mengayunkan telapak tangannya memanggil, "Tama, sini! Kamu punya teman baru di rumah, jadi kamu tidak akan kesepian lagi."

Wajah mamanya nampak bahagia, sementara Tama sendiri masih mematung di dekat pintu dapur. Si Anak berambut ungu menoleh pada Tama, kemudian tersenyum ramah padanya.

"Tama, Arvin akan tinggal disini bersama kita. Dia juga akan pindah ke sekolahmu, jadi dia bisa menjadi temanmu," ungkap Nyonya Pitta.

Batin Tama sedikit terkoyak. Ungkapan sekolah dan teman ternyata telah menjadi kosakata yang mampu memukulnya hingga babak belur. Dia segera memandang Arvin dengan tatapan yang tidak menyenangkan, membuat anak itu merasa canggung.

"Tama!" tiba-tiba dari arah belakang seorang pria berambut panjang dan berkacamata muncul sambil membawa buku bersampul biru.

"Aku hampir tidak percaya bahwa ini adalah milikmu!" tukas pria itu. Ia nampak begitu tenang, namun seulas kemarahan disembunyikan dalam batinnya. Tangannya menunjukkan tulisan-tulisan berwarna merah dengan nilai yang sangat buruk menghiasi rapor Tama.

Tanpa ba-bi-bu lagi, pria itu segera menyeret tubuh Tama dengan paksa ke lantai atas. Arvin yang melihat kejadian itu nampak terkejut. Arvin tidak begitu paham mengapa bisa terjadi perubahan yang dramatis pada Paman Nathan. Padahal, orang yang telah menyelamatkan nyawanya itu bisa bersikap lebih lembut sebelumnya.

Arvin bahkan tidak tahan dan ingin menutup telinganya saat-beberapa detik kemudian-terdengar pukulan yang disertai dengan erangan tangis dari lantai atas. Apakah Tama dihajar oleh ayahnya hanya gara-gara mendapat nilai jelek di sekolah? Arvin merasa beruntung karena ia tidak pernah mendapat perlakuan itu dari ayahnya.

Sementara Nyonya Pitta nampak membuang muka khawatir, seolah mengatakan 'aku tidak bisa berbuat apa-apa'.

***

"Papa, apa Papa mau pergi lagi?"

Tangan kecil Tama menarik baju papanya sembari berucap dalam getaran. Sementara Tuan Nathan berdiri tegak dan hanya memandangnya dengan tatapan kosong.

"Tama, Papamu harus pergi sekarang," Nyonya Pitta segera menarik tubuh Tama untuk menjauhi Tuan Nathan yang masih terdiam di ambang pintu.

Tama masih tidak puas. Dadanya bergemuruh karena belum sempat mengutarakan pada papanya agar berhenti menjadi peneliti. Mengapa ia selalu seperti ini? Pulang dan kemudian pergi lagi.

"Papa hanya ingin kau memiliki nilai yang bagus dan bisa mendapatkan pekerjaan yang laik," seloroh Tuan Nathan kini menatap ke arah luar, walaupun suaranya ia tujukan pada Tama.

Tama kini terpaut dalam lengan mamanya, sementara Tuan Nathan melangkahkan kakinya keluar dengan bebas.

"Tetaplah belajar, Tama. Dan kita akan bertemu suatu saat nanti," ujar Tuan Nathan sebelum ia benar-benar pergi dengan mobil roda empatnya.

Tama menyaksikan kepergiannya dengan pasrah. Ia telah tenggelam dalam ruang keputusasaan. Tama mulai hafal dengan siklus papanya. Ia akan pulang sebentar, dan kemudian pergi selama kurun waktu yang tidak bisa ditentukan. Dan akan selalu seperti itu. Tama mulai berpikir untuk tidak berharap banyak perihal pertemuan dengan papanya suatu saat lagi.

<<<>>>

========================================================

Part ini pendek ya ternyata, gajelas banget lagi. Wkwk.
Tunggu part berikutnya, oke?

Btw, adakah yang bisa nebak Tama itu siapa?
yang bener dapet piring cantik, haha ;D

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang