23 | Membuka Jubah (2)

12.6K 1.8K 109
                                    

Mereka duduk berhimpitan di dalam Auttaxi yang sebenarnya bisa dimuati oleh enam sampai tujuh orang. Namun seseorang bertubuh jumbo seolah membuat ruangan itu mendadak ciut-Alexander.

"Kuharap ototku tidak akan tumbuh sebesar ini," ucap Arvin yang terpuruk di kursinya. Ia terjepit diantara tubuh Rei dan Alex.

Pria tambun tersebut berusaha menggeser badannya yang sebenarnya tidak bisa bergerak kemana-mana. "Maaf, sudah menjadi tugas saya untuk mengikuti Tuan Muda."

Arvin terpaksa menahan jalur tawanya, akibat semprotan udara keluar begitu saja dari hidung. Entah mengapa, rasa geli tiba-tiba menggelitik perutnya begitu mendengar bagaimana pria itu menyebut Galant.

Sementara si Tuan muda yang dimaksud-duduk di kursi depan bersama dua orang lainnya-melirik wajah Alex dengan tajam, seolah hanya mereka berdua yang mengerti percakapan tanpa suara itu. Sudah berapa kali Galant harus memperingatkan Alex tentang hal ini.

"Jadi Anda adalah polisi yang bertugas mengawal Galant, begitu?" Rei mulai melempar pertanyaan pada Alex.

"Yes."

"Tapi, apakah kami pernah bertemu dengan Anda sebelumnya?" Carrie yang ada di depan menoleh dan bertanya dengan sopan.

Tanpa menggerakkan badannya-dibalik kacamata hitam itu-Alex mengarahkan bola matanya pada Galant sebelum berkata, "Nope."

Galant menghela nafas pelan, "Panggil dia Alexander, teman-teman. Dan Alex, mereka adalah teman-temanku. Jadi jangan memberlakukan aturan untuk tidak berbicara banyak pada orang asing sekarang."

Alexander hanya bisa kicep serta menahan keinginannya untuk menggaruk kening. "B-baiklah. Kita memang tidak pernah bertemu sebelumnya. Selama ini saya hanya bisa mengawasi kalian dari kejauhan, membaur menjadi orang lain. Tuan-maksudku Galant-tidak suka anak lain mengetahui seorang pengawal berkeliaran di sekolah saat jam pelajaran."

"But, why? Apa salahnya jika semua orang tahu bahwa Galant adalah pangeran Soteria? Maksudku aku tidak perlu mencurigainya sampai membuatku tidak punya muka lagi seperti sekarang, kan?"

Beberapa napas sempat tercipta tanpa suara setelah pertanyaan Arvin tersebut terlontar.

"Aku rasa kita harus membicarakan hal yang lain." Alexander berkata cepat dan datar seperti robot, sebelum Galant mengeluarkan tatapan mengerikan lagi. Alex paham betul bahwa obrolan ini akan membuat Galant merasa tidak nyaman.

Alex menghadapkan wajahnya ke Arvin, dan mendadak menyerbunya dengan raut muka sedingin es, "Usahakan untuk tidak terlalu banyak bertanya. Dan ingatkan aku untuk memukulmu sebanyak empat kali, karena sering menyerang Tuan Muda dengan tanganmu yang berkuman itu. Aku selama ini sudah sangat sabar untuk menahannya, kau tahu?!" bisiknya tajam ditanggapi dengan menyusutnya nyali Arvin. "M-maaf."

Beberapa menit berlalu dan mereka telah sampai di sebuah perumahan yang benar-benar membuat rasa takjub tak kunjung sirna. Seumur-umur baru kali ini Arvin menginjakkan kaki di sini.

Bangunan yang benar-benar dipulas dengan keindahan. Sangat jauh dari kesan abal-abal. Mobil-mobil pribadi keluaran terbaru terparkir di tiap garasi-cukup untuk menunjukkan status sosial pemilik hunian ini.

Tak hanya itu, ketika diajak masuk lebih dalam, bangunan itu tak ubahnya seperti sebuah istana yang terjelmakan oleh serupa rumah. Sangat mewah, lengkap dengan pernak-pernik yang berkilauan.

Arvin tak bisa membayangkan, betapa bahagianya apabila ia terlahir sebagai seorang Galant. Dia akan nampak begitu sempurna; pahatan Tuhan tanpa goresan kecacatan sedikit pun. Tak seperti dirinya. Bisa dibilang sebuah karya seni abstrak yang kehilangan apresiasi.

HEXAGON [1] | Spektrum Warna ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang